Harian Masyarakat | Sejumlah anggota Komisi VI DPR menyoroti kinerja PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang dinilai gagal memanfaatkan jam-jam sibuk atau prime time untuk penerbangan. Padahal, sebagai maskapai pelat merah, Garuda seharusnya mampu menguasai slot strategis dengan potensi penumpang tinggi.
Faktanya, justru maskapai swasta yang mendominasi penerbangan di jam favorit. Kondisi ini memunculkan kecurigaan adanya praktik jual-beli slot penerbangan yang disebut-sebut bernilai miliaran rupiah.
Dugaan Mafia Slot Terbang
Anggota DPR Komisi VI, Mufti Anam, mengungkapkan kecurigaan soal absennya Garuda dan Citilink di jam sibuk. Ia mempertanyakan apakah slot penerbangan diperjualbelikan.

“Pada jam-jam tertentu atau jam favorit, mengapa Garuda Indonesia dan Citilink Indonesia tidak tersedia? Apakah jadwal penerbangan ini diperjualbelikan? Betulkah ada mafia slot terbang karena idle time dikuasai pihak swasta?” ujar Mufti dalam rapat Komisi VI DPR di Senayan, Senin (22/9/2025).
Mufti menjelaskan bahwa jam idle atau waktu pesawat tidak beroperasi justru diisi oleh maskapai swasta. Bahkan, ada kasus di mana tiga penerbangan berjarak hanya 30 menit lalu digabung menjadi satu penerbangan, yang berujung pada delay dan kerugian bagi penumpang.
Ia menambahkan, harga jual-beli slot bisa mencapai miliaran rupiah. Karena itu, DPR meminta agar direksi Garuda Indonesia berani membuka fakta dan melaporkan ke penegak hukum jika praktik tersebut benar adanya.
Politisi Gerindra, Kawendra Lukistian, juga mempertanyakan hal serupa. “Ada mafianya? Ada permainan-permainan jadwal enggak benar ini,” ucapnya.
Sementara itu, anggota DPR Sartono Hutomo menekankan pentingnya perlakuan adil bagi Garuda sebagai BUMN. Ia mengingatkan agar jangan sampai terjadi praktik “hengki pengki” dalam penentuan jadwal penerbangan.
Kritik Keras terhadap Garuda
Mufti Anam melontarkan kritik pedas atas kondisi Garuda. Ia menilai manajemen maskapai tidak mampu memperbaiki masalah fundamental, meski sudah mendapat suntikan dana Rp6,6 triliun dari Danantara.
“Kalau memang tidak diselesaikan, tidak ada harapan buat Garuda, daripada memusingkan kita, membebani rakyat, bubarkan saja,” tegasnya.
Menurutnya, target Garuda untuk menguasai 50 persen pangsa pasar domestik tidak realistis. Saat ini, maskapai pelat merah itu hanya memegang sekitar 11 persen, sementara swasta mendominasi hingga 60 persen.
Respons Garuda Indonesia
Direktur Niaga Garuda Indonesia, Reza Aulia Hakim, menepis tuduhan adanya mafia penerbangan. Ia menilai ketiadaan Garuda di jam favorit lebih disebabkan oleh keterbatasan armada.
“Mungkin dengan berkurangnya jumlah pesawat yang sebelumnya terbang ke destinasi tertentu cukup banyak, sekarang dengan keterbatasan armada secara frekuensi berkurang. Ini yang menyebabkan persepsi masyarakat kenapa Garuda tidak hadir di prime time,” jelas Reza.
Reza menyebut Garuda kini mengoperasikan 213 frekuensi per hari ke 52 destinasi dengan total 70 rute. Pihaknya terus meninjau ulang jadwal penerbangan agar sesuai kebutuhan pasar.
Ia menegaskan, pengajuan slot ke Kementerian Perhubungan selalu dilakukan sesuai prosedur dan mendapat dukungan penuh dari regulator. Reza mengacu pada Permenhub Nomor PM 2 Tahun 2025, yang mengatur soal pembatalan penerbangan. Jika ada maskapai membatalkan lebih dari 20 persen penerbangannya, maka pemerintah berhak mengevaluasi dan mencabut slot yang tidak digunakan.
Pandangan Pakar Penerbangan
Ketua Umum Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (Apjapi), Alvin Lie, menilai mekanisme slot penerbangan di Indonesia sebenarnya sudah transparan. Semua pengajuan dilakukan secara online dan dapat dipantau oleh para pemangku kepentingan.
Menurut Alvin, posisi Garuda memang kalah bersaing karena jumlah pesawatnya lebih sedikit dibandingkan maskapai swasta, khususnya Lion Group yang memiliki tiga merek: Batik Air, Lion Air, dan Super Air Jet.
“Slotnya cukup, tinggal pihak airlines mengajukan atau tidak. Jadi masalah dominasi bisa dilihat dalam Permenhub Nomor 2/2025. Kalau sampai slot itu tidak dipakai, mereka enggak boleh terbang lagi. Sebetulnya sudah cukup efektif mengatasi hal tersebut,” kata Alvin.
Ia menilai wacana merger Garuda dengan Pelita Air justru kontraproduktif. Menurutnya, lebih baik Garuda, Citilink, dan Pelita tetap berdiri sendiri agar bisa mengajukan lebih banyak slot di rute dan jam berbeda.