Perdagangan daging anjing di Solo Raya masih merajalela. Menurut keterangan Ketua Animals Hope Shelter Indonesia Christian Joshua Pale, praktik jual beli daging anjing untuk dikonsumsi di Solo Raya diperkirakan berlangsung sejak akhir tahun 1970-an.
Bahkan omzet perdagangan daging anjing di Solo per bulannya juga bikin geleng-geleng kepala, mencapai belasan miliar per bulannya.
Sehingga diskusi tentang perdagangan daging anjing di Solo kembali mencuat lagi. Diskusi ini muncul lagi tak lama setelah ramainya perbincangan tentang Ayam Goreng Widuran yang menyajikan sajian non-halal.
Patrick Christabel Purnama dalam Skripsi-nya berjudul “Sejarah Warung Makan Daging Anjing di Surakarta Pada Masa Orde Baru” menulis, warung makan daging anjing muncul di Surakarta pada pertengahan dekade 1960-an sebagaic ara pelaku usaha dalam menghadapi krisis politik dan ekonomi yang terjadi saat itu.
Puncak usaha ini terjadi pada dekade 1970-an hingga paruh pertama dekade 1980-an. Kesuksesaan ini kemudian menginspirasi beberapa tetangga dan warga dari wilayah lain terlibat dalam perdagangan daging anjing. Sejak itulah warung makan daging anjing mulai menjamur di Solo dan sekitarnya.
Desember 2023, sebuah truk bernomor polisi AD811 E tertangkap kamera mengangkut ratusan anjing dengan kondisi mulut, lehet, dan kaki diikat. Truk itu melaju di jalan tol menuju Jawa Tengah. Hasil rekaman itu kemudian diunggah oleh akun Instagram Animals Hope Shelter Indonesia.
Belakangan diketahui, truk itu menuju Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, wilayah Solo Raya.
Tak lama berselang, ada informasi yang menyebut bahwa akan ada pengiriman ratusan anjing menuju Jateng menggunakan truk lewat jalan tol. Animals Hope Shelter Indonesia pun mencegatnya di Gerbang Tolo Kalikangkung, Kota Semarang.
Malam itu juga, bersama Polrestabes, Animals Hope Shelter Indonesia berhasil menghentikan sebuah truk bernomor AD 1358 YE. Di dalamnya ada 226 ekor anjing dengan kondisi mulut, leher, dan kaki diikat.
Anjing-anjing malang itu dibawa dari Kabupaten Subang, Jawa Barat. Mereka dimasukkan dalam karung dan ditumpuk begitu saja. Anjing-anjing itu rencananya akan dibawa ke wilayah Solo Raya untuk diperdagangkan.
Patroli berhasil meringkus Donal Harianto (43), Sulasno (48), Ariyoto (49), Wagimin (62), dan Ervan Yulianto (29). Mereka adalah warga Dukuh Mijahan, Kelurahan Ngembatpadas, Kecamatan Gemolong, Sragen.
Dengan rincian sebagai berikut: Donal sebagai pembeli dan penjual; Ariyoto sebagai sopir; Sulasno, Wagimin, dan Ervan sebagai kuli bongkar muat anjing.
Kelimanya kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 89 dan Pasal 66A Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; juga Pasal 302 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penganiayaan hewan.
“Praktik seperti itu tak bisa dilepaskan dari keberadaan warung penjual olahan daging anjing di wilayah Solo Raya atau eks Karesidenan Surakarta. Warung-warung penjaja olahan daging anjing itu diperkirakan sudah eksis sejak puluhan tahun lalu,” dikutip dari Kompas.ID.
Menurut data Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Perikanan Kota Surakarta, pada 2022 ada 27 warung penjual olahan daging anjing di Solo. Jumlah anjing yang dikonsumsi di warung-warung itu diperkirakan 90-100 ekor per hari. Yang bikin miris, warung-warung daging anjing tidak hanya di Kota Solo, tapi juga tersebar di wilayah sekitarnya.
Seperti disebut di awal, menurut Christian Joshua Pale, praktik perdagangan daging anjing untuk dikonsumsi di Solo Raya diperkirakan berlangsung sejak akhir tahun 1970-an. Saat ini, katanya, mayoritas pengelola penjagalan anjing ataupun kuliner daging anjing di Solo Raya merupakan generasi kedua atau ketiga.
”Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Dog Meat Free Indonesia, perputaran uang dalam bisnis ini mencapai Rp 11 miliar per bulan. Itu baru di Solo (Surakarta), belum yang di sekitarnya,” ucap Christian yang mengikuti kasus penjualan daging anjing di Solo Raya sejak 2016.
Menurut Heri Priyatmoko, sejarawan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, para penjual anjing terkonsentrasi di wilayah Gemolong, Sragen, karena faktor geografis yang mendukung.
Kawasan itu termasuk daerah pinggiran sehingga tidak padat penduduk. Dengan demikian, kegiatan perdagangan daging anjing atau barang yang kontroversial semacam itu jarang terendus.
Dia menambahkan, tradisi menyantap daging anjing sudah ada sejak lama di Jawa. Bahkan, dia menyebut, kebiasaan mengonsumsi daging anjing tercatat dalam Serat Centhini yang ditulis sejak tahun 1814 hingga 1823. Tradisi menyantap kuliner ekstrem itu juga dinilai didukung oleh mitos tentang khasiat daging anjing.
Begitulah riwayat perdagangan daging anjing yang begitu marak di wilayah Solo Raya.