spot_img

Polemik Ijazah Palsu Joko Widodo: Antara Tuduhan dan Fakta Hukum

Harian Masyarakat – Isu mengenai dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo hingga kini masih berkeliaran bebas di ruang publik, memicu perdebatan hangat di media sosial dan sejumlah forum politik. Meski tudingan ini bukan hal baru, dinamika hukum dan respons pemerintah terus menjadi sorotan masyarakat luas.

Tuduhan mengenai ijazah palsu Presiden Jokowi pertama kali bergulir sejak beberapa tahun lalu, terutama menjelang pemilihan umum. Pihak-pihak yang meragukan keabsahan dokumen pendidikan kepala negara tersebut menyoroti ijazah yang diterbitkan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) dan institusi pendidikan sebelumnya, yakni SMA Negeri 6 Surakarta.

Pada Oktober 2022, seorang warga bernama Bambang Tri Mulyono mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menyatakan bahwa Jokowi diduga menggunakan ijazah palsu dan meminta agar Mahkamah Konstitusi menyelidiki latar belakang pendidikan presiden secara lebih transparan.

Menanggapi tudingan tersebut, pihak Istana Negara melalui Koordinator Staf Khusus Presiden saat itu, Ari Dwipayana, menegaskan bahwa tuduhan itu tidak berdasar. Ia menyatakan bahwa seluruh dokumen pendidikan Joko Widodo adalah sah dan telah diverifikasi oleh lembaga resmi.

Pihak Universitas Gadjah Mada juga telah memberikan klarifikasi resmi. Dalam keterangan tertulisnya, UGM menyatakan bahwa Joko Widodo benar tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 1985. Data akademik, transkrip nilai, serta arsip administratif lainnya telah disampaikan ke publik guna meredam spekulasi.

Proses Hukum Ijazah Palsu Jokowi di Pengadilan

Gugatan hukum terkait ijazah palsu Jokowi sempat ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena dinilai tidak memenuhi syarat formil dan materil. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa tidak ditemukan bukti kuat yang menunjukkan bahwa ijazah Presiden adalah palsu.

Meski demikian, isu ini terus dimunculkan oleh sejumlah pihak, terutama di kalangan oposisi atau tokoh-tokoh yang kritis terhadap pemerintahan. Bahkan, beberapa aktivis mencoba mengajukan permohonan uji materi kembali, namun belum ada perkembangan signifikan dari sisi hukum.

Analisis dan Dampak Politik

Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Andi Wijaya, menilai isu ijazah palsu ini lebih bermuatan politis ketimbang legal. “Isu ini digunakan sebagai alat delegitimasi terhadap figur presiden, terutama menjelang kontestasi politik besar seperti pilpres,” ujarnya.

Meski berulang kali dibantah dan tidak terbukti di pengadilan, isu ijazah palsu ini memiliki daya rusak terhadap kepercayaan publik, khususnya di era disinformasi digital yang marak.

Hingga saat ini, tidak ada bukti sahih yang dapat membuktikan bahwa ijazah Joko Widodo palsu. Lembaga pendidikan dan pemerintah telah memberikan klarifikasi resmi, sementara proses hukum tidak membuktikan adanya pelanggaran.

Namun demikian, isu ini menjadi cermin bagaimana hoaks dan narasi politik dapat mengaburkan fakta. Perlu ketegasan aparat hukum dan literasi publik yang kuat untuk menanggulangi penyebaran informasi yang tidak terverifikasi.

Roy Suryo, Rismon Sianipar dan dr Tifa Tolak Kriminalisasi – Tetap Bersikukuh Soal Ijazah Palsu Jokowi

Isu mengenai keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo kembali menjadi sorotan publik setelah sejumlah tokoh kembali mengangkat persoalan tersebut ke ruang publik. Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo, bersama akademisi Rismon Sianipar dan dr. Tiva, melontarkan tudingan bahwa terdapat kejanggalan dalam dokumen pendidikan kepala negara tersebut.

Dalam pernyataannya, Roy Suryo menyebut bahwa ada beberapa ketidaksesuaian dalam dokumen ijazah Presiden yang layak untuk dikaji ulang secara terbuka. “Kami tidak ingin menyerang pribadi Presiden, tetapi sebagai warga negara, kami punya hak untuk mempertanyakan keabsahan dokumen publik yang menjadi dasar pencalonan,” ujar Roy dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, Selasa (30/7).

Senada dengan Roy, Rismon Sianipar yang dikenal aktif dalam pengkajian dokumen publik menyebut adanya perbedaan tipografi dan tanda tangan yang menurutnya tidak lazim pada ijazah Universitas Gadjah Mada (UGM) milik Jokowi. “Jika ditelusuri, secara teknis ada perbedaan yang signifikan antara dokumen tersebut dengan dokumen asli lainnya dari periode yang sama,” kata Rismon.

Tifa, yang dikenal sebagai aktivis sosial dan praktisi kesehatan, menambahkan bahwa kejelasan asal-usul dokumen publik penting untuk menjaga kredibilitas institusi negara.

“Ini bukan hanya soal Presiden, tetapi soal keteladanan dan transparansi pejabat publik kepada rakyat,” tegasnya.

Kelompok pengkritik menargetkan sejumlah aspek teknis dokumen, seperti jenis huruf, tata letak cap, dan tampilan elemen lain yang dianggap tak konsisten dengan ijazah UGM pada era 1980-an. Namun, sebanyak kasus hukum sebelumnya, termasuk gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tidak berhasil membuktikan adanya pelanggaran

Respone Jokowi dan Polda Metro

Presiden Joko Widodo telah melaporkan ketiga tokoh tersebut ke Polda Metro Jaya atas tudingan penyebaran informasi palsu terkait ijazahnya. Laporan dinyatakan telah memasuki tahap penyidikan. Dukungan dari kelompok relawan dan partai pro-Jokowi turut memperkuat proses hukum.

Pada 22 Mei 2025, Bareskrim Polri menyatakan melalui pemeriksaan internal bahwa ijazah Jokowi dinyatakan asli, setelah melakukan pengecekan silang dengan data universitas. Selain itu, UGM menegaskan bahwa salinan asli ijazah tersebut disimpan di arsip kampus.

Tiga Tokoh di Garis Depan Tuduhan Ijazah Palsu Jokowi

Roy Suryo, mantan Menpora dan pakar telematika, menyatakan bahwa tindakannya “murni independen” tanpa didukung tokoh besar atau kepentingan politik tertentu. Ia menolak narasi bahwa kasus ini dimotori oleh figur besar.

Rismon Sianipar, mantan dosen dari Universitas Mataram, kembali menegaskan ia memiliki sejumlah data yang dianggap membuktikan bahwa ijazah Jokowi palsu. Ia terus memperjuangkan tudingan ini secara terbuka, meskipun berhadapan dengan proses hukum.

Tifauzia Tyassuma (dr Tifa), epidemiolog dan aktivis kesehatan, mempersoalkan format font Times New Roman pada ijazah Jokowi yang disebutnya tak ada pada era 1985. Ia menilai analisis forensik dokumen lebih diperlukan ketimbang sekedar menerima klaim satu pihak saja.

Trending Topic

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related news