Harian Masyarakat | Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) kembali dipersoalkan. Pasal ini mengatur tindak perintangan penyidikan atau obstruction of justice dengan ancaman pidana minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara, serta denda Rp150 juta hingga Rp600 juta.
Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto, menggugat pasal 21 UU Tipikor ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 24 Juli 2025. Hasto menilai ketentuan ini tidak proporsional karena ancaman hukumannya lebih tinggi dibanding tindak pidana pokok seperti suap. Gugatan ini didukung penuh oleh DPR, namun ditentang oleh pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto.
Gugatan Hasto Kristiyanto
Kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, menegaskan bahwa Pasal 21 UU Tipikor tidak seimbang. Ia mencontohkan kasus suap yang ancaman pidananya maksimal 5 tahun. Namun, pihak yang hanya merintangi penyidikan kasus suap bisa dipidana hingga 12 tahun.
Hasto juga meminta MK:
- Mengubah ancaman pidana Pasal 21 menjadi maksimal 3 tahun.
- Menambahkan frasa baru agar perbuatan obstruction of justice harus dilakukan dengan kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi, atau janji keuntungan tidak pantas.
- Menafsirkan frasa “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan” secara kumulatif. Artinya, perintangan hanya dapat dipidana jika terjadi di seluruh tahap proses hukum, bukan salah satu saja.
Sikap DPR
DPR secara mengejutkan menyatakan mendukung gugatan Hasto. Anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P, I Wayan Sudirta, menyampaikan bahwa Pasal 21 UU Tipikor bersifat multitafsir dan rawan disalahgunakan aparat penegak hukum.
Menurut DPR:
- Pasal 21 kerap digunakan untuk mengkriminalisasi tindakan yang sah, seperti mengajukan praperadilan atau membantah keterangan penyidik.
- Ancaman hukuman 12 tahun lebih berat daripada tindak pidana pokok seperti suap.
- Norma dalam pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945 karena melanggar hak konstitusional individu.
- Pengaturan obstruction of justice di negara lain seperti Jerman, Belanda, Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat hanya seperempat dari ancaman pidana pokok.
DPR pun meminta MK menyatakan Pasal 21 inkonstitusional jika tidak dimaknai ulang sesuai prinsip proporsionalitas.
Sikap Pemerintah Prabowo
Berbeda dengan DPR, pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto menolak permohonan Hasto. Kepala Badan Diklat Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, mewakili pemerintah di sidang MK pada 1 Oktober 2025.
Menurut pemerintah:
- Hasto tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena kerugian yang ia klaim berasal dari tindakan aparat, bukan dari norma pasalnya.
- Pengujian tindakan aparat seharusnya dilakukan melalui praperadilan, eksepsi, pembelaan, hingga kasasi atau peninjauan kembali, bukan lewat uji materi di MK.
- Pasal 21 justru penting untuk menjaga kelancaran proses hukum dan sudah sejalan dengan KUHP lama, UU Pemberantasan Tipikor 1971, KUHP baru, serta Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC).
- Membatasi definisi perintangan hanya pada kekerasan fisik atau ancaman akan membuka celah impunitas. Koruptor bisa menggunakan modus halus dan terselubung untuk menghalangi penyidikan.
Pemerintah juga mencontohkan kasus-kasus nyata obstruction of justice:
- Anggodo Wijoyo yang pura-pura sakit agar sidang tertunda.
- Upaya Setya Novanto dan kuasa hukumnya Frederich Yunadi dalam kasus korupsi e-KTP.
- Didit Wijayanto Wijaya yang memengaruhi tujuh saksi agar tidak kooperatif dalam kasus LPEI.
Leonard menegaskan, “Pasal 21 UU Tipikor merupakan instrumen yang sah, jelas, dan proporsional untuk melindungi peradilan dari sabotase.”
Kontroversi dan Kejutan di MK
Sikap DPR yang mendukung gugatan Hasto dinilai tidak biasa. Hakim Konstitusi Saldi Isra bahkan menilai lebih tepat jika revisi pasal 21 UU Tipikor dilakukan langsung di DPR, bukan melalui uji materi di MK.
Namun DPR tetap bersikeras bahwa pasal ini berbahaya karena multitafsir. Pemerintah, sebaliknya, menegaskan pasal ini harus dipertahankan untuk menutup ruang bagi perintangan hukum dalam berbagai bentuk.
Konflik antara pemerintah Prabowo dan DPR soal uji materi Pasal 21 UU Tipikor mencerminkan tarik ulur besar antara perlindungan integritas hukum dan prinsip proporsionalitas pidana.
- DPR mendukung pemohon dan ingin pasal diperbaiki karena dianggap tidak adil.
- Pemerintah menolak permohonan dan menegaskan pasal masih relevan menjaga proses hukum.
- MK kini berada di posisi krusial untuk menentukan apakah Pasal 21 akan direvisi atau tetap dipertahankan.
Putusan MK nantinya akan menjadi penentu arah hukum pemberantasan korupsi di Indonesia, sekaligus menguji keseimbangan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga yudikatif.