Harian Masyarakat | Sabtu siang, 4 Oktober 2025, Presiden Prabowo Subianto menerima tamu istimewa di kediamannya di Jalan Kertanegara, Jakarta. Tamu itu adalah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo. Pertemuan berlangsung sekitar dua jam, dari pukul 13.00 hingga menjelang pukul 15.00 WIB.
Ajudan Jokowi, Kompol Syarif Muhammad Fitriansyah, membenarkan bahwa pertemuan berlangsung empat mata, tanpa pendamping. Seusai pertemuan, Jokowi langsung melanjutkan agendanya. Dari pihak Istana, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyebut bahwa pertemuan itu bersifat silaturahmi antarpemimpin bangsa.
“Banyak hal yang dipercakapkan mengenai masalah kebangsaan. Termasuk masukan untuk ke depan sebaiknya seperti apa,” kata Prasetyo seusai peringatan HUT ke-80 TNI di Monas, Jakarta, sehari setelah pertemuan.
Menurut Prasetyo, pertemuan berlangsung dalam suasana santai. “Kebetulan Pak Jokowi sedang di Jakarta. Sudah, janjian ketemu waktunya makan siang,” ujarnya.
Bukan Pertemuan Pertama
Ini bukan kali pertama keduanya bertemu sejak Prabowo menjabat sebagai presiden. Sebelumnya, pada 20 Juli 2025, Prabowo menyempatkan diri berkunjung ke kediaman Jokowi di Sumber, Surakarta, sebelum menghadiri penutupan Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Dalam pertemuan itu, suasana juga tampak akrab. Wakil Presiden Gibran Rakabuming, yang merupakan putra sulung Jokowi, turut hadir. Usai acara, ketiganya sempat makan malam bersama di warung bakmi di Solo.
Kedekatan personal dan politik antara Prabowo dan Jokowi memang sudah terjalin sejak pasca-Pilpres 2019, ketika Jokowi yang menang mengajak Prabowo bergabung ke dalam kabinet sebagai Menteri Pertahanan. Hubungan itu berlanjut hingga Pilpres 2024, saat Jokowi merestui putranya, Gibran, menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo.
Spekulasi Motif Pertemuan
Meski dijelaskan sebagai silaturahmi, publik tetap bertanya-tanya: apa sebenarnya yang dibahas dalam pertemuan empat mata itu?
Peneliti senior dari BRIN, Lili Romli, menilai tidak adanya keterangan resmi membuat ruang spekulasi terbuka. “Kita hanya bisa berspekulasi karena tidak ada konfirmasi pers yang menjelaskan isi dari pertemuan tersebut,” ujarnya.
Menurut Lili, ada beberapa kemungkinan motif di balik pertemuan tersebut. Pertama, pembicaraan bisa berkaitan dengan dinamika internal PSI. Prabowo sebelumnya hadir di Kongres PSI yang dipimpin Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi.
Kedua, isu seputar tekanan terhadap keluarga Jokowi. Mulai dari polemik ijazah Jokowi dan Gibran, hingga isu pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming.
Ketiga, bisa juga terkait reshuffle kabinet yang belakangan menyingkirkan sejumlah tokoh dekat Jokowi, termasuk Budi Arie Setiadi.
Dan terakhir, ada kemungkinan Jokowi ingin menyampaikan dukungan terhadap kelanjutan pemerintahan Prabowo-Gibran hingga 2029.

Konsultasi Antarpresiden
Prabowo sendiri tidak menutup bahwa dirinya kerap berkonsultasi dengan para mantan presiden, termasuk Jokowi. Dalam sidang kabinet paripurna di Istana, 5 Mei 2025, Prabowo menyebut bahwa komunikasi itu murni untuk meminta pandangan, bukan bentuk kendali.
“Saya dibilang presiden boneka, dikendalikan Pak Jokowi. Seolah-olah Pak Jokowi tiap malam telepon saya. Saya katakan itu tidak benar,” tegas Prabowo.
Ia bahkan menambahkan, “Saya menghadap beliau, saya menghadap Pak SBY, saya menghadap Ibu Mega, tidak ada masalah. Kalau bisa menghadap Gus Dur, menghadap Pak Harto, menghadap Bung Karno, saya juga akan minta pandangan.”
Prabowo menilai, komunikasi semacam itu penting karena setiap presiden memiliki pengalaman berbeda dalam memimpin negara. Ia juga mengakui keberhasilan transisi pemerintahan dari Jokowi ke dirinya.
“Transisi dari Presiden ke-7 berjalan sangat baik. Itu membantu banyak dalam kinerja enam bulan pertama pemerintahan kami,” ujar Prabowo.
Kritik dan Pembelaan

Namun, hubungan akrab dua tokoh itu memunculkan tudingan bahwa Prabowo masih berada di bawah bayang-bayang Jokowi. Isu “matahari kembar” pun mencuat, terutama setelah pembatalan mutasi sejumlah perwira tinggi TNI pada April 2025 yang dianggap sebagai bentuk tarik-menarik kepentingan antara dua kubu.
Ketua Setara Institute, Hendardi, menilai dinamika itu menunjukkan masih adanya kelompok yang ingin agar Prabowo tidak terlalu tunduk pada pengaruh Jokowi.
Pengamat politik UIN Jakarta, Adi Prayitno, melihat bantahan Prabowo justru penting untuk menjaga kepercayaan publik. “Publik sering menyederhanakan komunikasi politik. Padahal, berkomunikasi dengan mantan presiden bukan berarti dikendalikan,” katanya.
Menurut Adi, Prabowo hanya ingin menunjukkan rasa hormat dan kontinuitas kepemimpinan nasional. “Itu bentuk pengakuan bahwa presiden sebelumnya berjasa untuk bangsa. Tapi bukan berarti Prabowo diatur-atur,” tambahnya.
Simbol Politik: Jokowi Masih Berpengaruh
Meski telah purnatugas, Jokowi masih memiliki pengaruh dalam peta politik nasional. Selain karena Gibran menjabat sebagai wakil presiden, putra bungsunya, Kaesang Pangarep, kini memimpin PSI.
Partai tersebut bahkan menempatkan seseorang dengan inisial “J” sebagai Ketua Dewan Pembina dalam struktur barunya. Banyak pihak menafsirkan huruf “J” itu sebagai Jokowi.
Saat Kongres PSI pada Juli 2025, Jokowi memang menyatakan akan mendukung PSI dalam menghadapi Pemilu 2029. Spekulasi bahwa dirinya akan lebih aktif secara politik di partai yang dipimpin anaknya pun makin kuat.
Pertemuan yang Layak Dicermati

Pertemuan Prabowo dan Jokowi di Kertanegara jelas bukan sekadar makan siang biasa. Meskipun dikemas sebagai silaturahmi, konteks politik di sekitar keduanya membuat setiap gestur dan pertemuan mereka bernilai strategis.
Dalam konteks pemerintahan, komunikasi dua tokoh yang dulu bersaing di pilpres tetapi kini berkoalisi di kekuasaan bisa dibaca sebagai upaya menjaga stabilitas politik. Namun, di sisi lain, intensitas pertemuan juga memunculkan pertanyaan: sejauh mana pengaruh Jokowi masih menjangkau istana setelah tidak lagi menjabat?
Lili Romli menegaskan, hubungan antarpresiden seharusnya tetap dijaga, tetapi juga perlu transparansi agar publik tidak salah tafsir. “Kalau silaturahmi memang baik, tapi harus jelas batasnya, agar tidak muncul kesan bayang-bayang kekuasaan lama,” ujarnya.
Kedekatan Prabowo dan Jokowi mencerminkan hubungan dua generasi kepemimpinan yang saling membutuhkan: Prabowo memerlukan legitimasi transisi yang mulus, sementara Jokowi tampak ingin memastikan warisan politiknya tetap aman.
Apakah pertemuan mereka murni silaturahmi atau bagian dari peta kekuasaan yang masih bergerak, publik hanya bisa menilai dari langkah-langkah mereka berikutnya. Yang jelas, dua sosok ini tampaknya belum sepenuhnya berjalan di jalannya masing-masing.















