Harian Masyarakat | Desakan melaksanakan reformasi Polri semakin kuat setelah penanganan unjuk rasa akhir Agustus 2025 dinilai berlebihan. Salah satu korban, Affan Kurniawan, tewas setelah dilindas kendaraan taktis Brimob di Pejompongan, Jakarta Pusat. Insiden ini memicu kemarahan publik dan mendorong seruan agar Polri segera dibenahi.
Gerakan Nurani Bangsa (GNB), yang berisi tokoh agama dan akademisi seperti Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M Quraish Shihab, Franz Magnis-Suseno, Lukman Hakim Saifuddin, Alissa Wahid, dan Laode M Syarif, turut menyuarakan perlunya evaluasi menyeluruh. Saat bertemu Presiden Prabowo Subianto pada 11 September 2025, mereka mendorong pembentukan tim independen reformasi Polri. Presiden menyambut positif gagasan tersebut dan menyatakan rencana membentuk komisi khusus.
Kritik dan Harapan Publik
Menurut pengamat kepolisian Bambang Rukminto, reformasi Polri tidak bisa sebatas mengganti Kapolri. Diperlukan kemauan politik yang kuat dari Presiden untuk membentuk tim independen yang benar-benar bebas dari kepentingan politik maupun resistensi internal. Ia menegaskan, revisi Undang-Undang Polri yang sudah berusia 23 tahun harus menjadi prioritas agar Polri lebih profesional, independen, dan akuntabel.
Bambang juga menyoroti posisi Polri yang berada langsung di bawah Presiden, karena berpotensi menjadikan institusi ini alat politik kekuasaan. Menurutnya, kelemahan reformasi 1998 adalah gagal menempatkan Polri dalam sistem yang benar-benar profesional dan mandiri.
Komisioner Kompolnas, M Choirul Anam, menambahkan tiga hal mendasar yang harus menjadi pijakan reformasi Polri:
- Penguatan prinsip humanisme dan profesionalisme dengan prosedur jelas di lapangan.
- Perbaikan pendidikan kepolisian agar budaya represif bergeser ke pendekatan persuasif berbasis HAM.
- Penguatan pengawasan internal dan eksternal supaya kontrol publik terhadap Polri lebih efektif.
Kasus dan Budaya Represif
Selain kasus Affan Kurniawan, publik masih mengingat tragedi Kanjuruhan 2022 yang menewaskan 135 orang akibat penanganan brutal aparat dengan gas air mata. Menurut Ketua YLBHI Muhamad Isnur, pola represif ini terus berulang, menunjukkan perlunya perubahan standar operasional agar polisi tidak lagi melihat demonstrasi sebagai ancaman yang harus diberangus.
Isnur juga menyoroti persoalan imparsialitas penyidik. Banyak kasus menunjukkan intervensi, pemerasan, hingga rekayasa hukum. Ia mencontohkan kasus Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa sebagai bukti seriusnya masalah penyidikan.
Selain itu, kewenangan Polri dinilai terlalu luas, mulai dari urusan SIM hingga jasa keamanan (pam swakarsa), yang rawan menimbulkan praktik bisnis dan pungutan. Evaluasi kewenangan dianggap penting agar Polri fokus pada fungsi penegakan hukum.
Tuntutan Reformasi Struktural dan Kultural
Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menekankan pentingnya audit menyeluruh, termasuk audit sosial dan HAM, untuk memetakan kelemahan Polri. Ia mendorong agar syarat masuk Polri ditingkatkan minimal lulusan S-1 demi meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Sementara itu, pemerhati kepolisian Poengky Indarti menekankan perlunya reformasi kultural agar budaya represif dan hedonisme bisa dihapus. Ia menilai reformasi Polri harus menyentuh integritas aparat dan tata kelola kelembagaan.
Investigasi Kerusuhan Agustus–September
Enam lembaga nasional bidang HAM, termasuk Komnas HAM, sepakat membentuk tim pencari fakta (TPF) independen. Tim ini bertugas mengumpulkan data korban jiwa, luka-luka, penangkapan sewenang-wenang, serta kerugian materiil. Hasil investigasi akan dilaporkan ke Presiden dan DPR, lalu diumumkan ke publik.
Pergantian Kapolri: Isu atau Realitas?
Isu pergantian Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sempat berembus kuat sejak 12 September 2025. Namun, hingga kini DPR dan Istana membantah sudah ada surat presiden (surpres) terkait hal itu.
Juru Bicara Presiden sekaligus Mensesneg Prasetyo Hadi menegaskan, belum ada surpres yang dikirim ke DPR. Pimpinan DPR dan anggota Komisi III juga menyatakan hal sama. Meski begitu, sejumlah pihak menilai pergantian Kapolri logis, mengingat derasnya tuntutan publik.
Listyo sendiri menyatakan siap mundur bila Presiden memutuskan demikian. “Itu hak prerogatif presiden. Kita prajurit kapan saja siap,” ujarnya setelah bertemu Presiden di Hambalang pada 30 Agustus 2025.
Dukungan dan Kekhawatiran
Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil menilai isu pergantian Kapolri bagian dari rencana reformasi Polri. Ia menyarankan agar Presiden langsung memimpin proses reformasi kepolisian. Rudianto Lallo dari Nasdem juga menyebut Presiden lebih memahami kebutuhan Polri sehingga keinginannya melakukan pembenahan patut dihormati.
Namun, Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan mengingatkan agar pergantian Kapolri tidak dijadikan agenda politik untuk mempercepat militerisasi. Menurutnya, penggantian harus berada dalam kerangka demokratis dan menjadi momentum percepatan reformasi Polri yang belum tuntas sejak 1999.
Halili menyebut ada sekitar 130 masalah mendasar di tubuh Polri, mulai dari impunitas, pungutan liar, hingga kekerasan berlebihan. Ia menekankan empat pilar transformasi: Polri yang demokratis-humanis, berintegritas-antikorupsi, modern berbasis digital, serta transparan-akuntabel.
Kenaikan Pangkat Perwira Tinggi
Di tengah isu pergantian Kapolri, Polri menggelar upacara kenaikan pangkat bagi 27 perwira tinggi pada 12 September 2025. Dua di antaranya naik menjadi komisaris jenderal, yakni Kepala BNN Suyudi Ario Seto dan Kepala Baharkam Polri Karyoto.
Selain itu, tujuh perwira naik menjadi inspektur jenderal, sementara 18 lainnya menjadi brigadir jenderal. Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menyebut kenaikan pangkat sebagai bentuk apresiasi sekaligus tanggung jawab besar untuk mengabdi pada bangsa.
Reformasi Polri menjadi agenda mendesak setelah rangkaian kekerasan, pelanggaran HAM, dan ketidakprofesionalan aparat. Publik menuntut perubahan menyeluruh yang menyasar struktur, budaya, dan tata kelola Polri.
Presiden Prabowo Subianto mendapat dukungan untuk memimpin langsung agenda reformasi ini. Namun, keberhasilan reformasi Polri sangat bergantung pada kemauan politik Presiden, revisi UU Polri, pembentukan tim independen, serta komitmen menempatkan kepolisian sebagai institusi sipil yang profesional dan akuntabel.