Harian Masyarakat | Pemerintah Israel melalui kabinet keamanan politiknya telah menyetujui rencana militer untuk mengambil alih Gaza City, langkah yang dinilai sebagai eskalasi besar dalam perang yang telah berlangsung hampir dua tahun. Rencana ini dipresentasikan oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan diperkirakan berlangsung selama empat hingga lima bulan, dimulai dengan serangan darat ke Gaza City; wilayah terpadat di Jalur Gaza.
Menurut PBB, sebagian Gaza City masih berada di luar kendali militer Israel dan belum mendapatkan perintah evakuasi. Operasi ini berpotensi memaksa hingga satu juta warga Palestina mengungsi ke wilayah selatan yang sudah penuh sesak.
Netanyahu mengklaim langkah ini diperlukan untuk memastikan keamanan Israel dan mengakhiri kendali Hamas. Ia mengatakan Israel tidak berniat memerintah Gaza secara permanen, tetapi akan menyerahkannya kepada “kekuatan Arab” yang dianggap mampu memerintah tanpa mengancam Israel.
Penolakan dari Militer Israel Sendiri
Rencana pendudukan penuh Gaza memicu perbedaan pendapat di internal Israel. Kepala Staf IDF Eyal Zamir memperingatkan bahwa pendudukan akan membuat Israel “masuk ke dalam lubang hitam” yang berisiko menjadi keterlibatan panjang, mahal, dan membahayakan nyawa sandera yang masih ditahan Hamas.

Mantan Kepala Badan Keamanan Shin Bet, Nadav Argaman, menilai arah kebijakan pemerintah saat ini ekstrem dan telah “menyandera” rakyat Israel sendiri.
Kondisi Sandera dan Protes Keluarga Korban
Sekitar 50 sandera masih ditahan di Gaza, dengan dugaan 20 di antaranya masih hidup. Keluarga para sandera menggelar protes maritim menuju perairan untuk menekan pemerintah memprioritaskan negosiasi pembebasan.
Yehuda Cohen, ayah sandera bernama Nimrod, meminta bantuan internasional untuk menyelamatkan mereka. Sementara itu, ibu Nimrod menyebut rencana pendudukan penuh Gaza sebagai “vonis mati” bagi para sandera.
Hamas menuding rencana Netanyahu sebagai “kudeta terang-terangan” terhadap proses negosiasi dan upaya mengorbankan sandera.
Kecaman dan Peringatan dari Dunia Internasional
Rencana ini memicu keprihatinan global.
- PBB melalui Asisten Sekretaris Jenderal Miroslav Jenča menyebut rencana itu “sangat mengkhawatirkan” dan memperingatkan konsekuensi bencana bagi jutaan warga Palestina.
- Australia mendesak Israel membatalkan rencana ini karena dianggap hanya akan memperburuk krisis kemanusiaan. Menurut Menlu Penny Wong, pengusiran permanen melanggar hukum internasional, dan satu-satunya jalan damai adalah solusi dua negara.
Negara-negara Arab juga menolak campur tangan pasukan asing yang dianggap “pendudukan” dan menegaskan bahwa keamanan Gaza harus dipegang oleh lembaga Palestina yang sah.
Krisis Kemanusiaan di Gaza Makin Memburuk
Badan Pangan PBB (IPC) memperingatkan bahwa skenario kelaparan terburuk sedang terjadi. Bukti menunjukkan kelaparan, malnutrisi, dan penyakit telah meningkatkan kematian terkait kelaparan. Kementerian Kesehatan Gaza mencatat setidaknya 197 kematian akibat kelaparan massal.
Sejak perang meletus pada 7 Oktober 2023, lebih dari 61.000 warga Palestina telah tewas akibat serangan Israel, sementara korban dari pihak Israel mencapai lebih dari 1.200 jiwa pada hari pertama serangan Hamas. Gambar anak-anak kelaparan dan video sandera yang kurus kering telah memicu kemarahan internasional terhadap tindakan Israel.
Perang dan Penderitaan Tanpa Ujung
Rencana pendudukan penuh Gaza oleh Israel dinilai sebagai langkah yang akan memperpanjang konflik, memperburuk penderitaan warga sipil, dan mengancam nyawa sandera. Tekanan internasional semakin besar, namun pemerintah Netanyahu tetap bersikeras mencapai “kemenangan total” atas Hamas, meskipun harga yang harus dibayar adalah krisis kemanusiaan terbesar dalam sejarah.