spot_img

Revisi UU Pemilu 2026: Siapa Untung, Siapa Buntung dari Kodifikasi hingga Proporsional Tertutup?

Harian Masyarakat | Revisi UU Pemilu resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026. Usulan dari Komisi II DPR ini disetujui pada 23 September 2025 dan direncanakan mulai dibahas pada awal 2026.

Revisi UU Pemilu menjadi pintu masuk penting karena bersinggungan langsung dengan penyelenggaraan pemilihan legislatif, pemilihan presiden, hingga pemilihan kepala daerah. Saat ini, aturan mengenai pemilu, partai politik, dan pilkada masih berdiri sendiri. Oleh karena itu, wacana besar yang muncul adalah apakah seluruh aturan itu akan digabungkan dalam satu regulasi dengan metode kodifikasi.

Kodifikasi: Efisiensi atau Kompleksitas Baru?

Wakil Ketua DPR dari Fraksi NasDem, Saan Mustopa, membuka kemungkinan penggunaan metode kodifikasi untuk Revisi UU Pemilu. Ia menilai penggabungan aturan pemilu, pilkada, dan partai politik dalam satu UU dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi.

revisi uu pemilu
Wakil Ketua DPR dari Fraksi NasDem, Saan Mustopa

“Kalau masuk dalam rezim pemilu, bahkan dengan penyelenggara sama, kenapa enggak bisa disatukan? Jadi ini, kan, kenapa harus dipisah?” kata Saan.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 110/PUU-XXII/2025 juga memperkuat argumentasi ini. Putusan tersebut menegaskan bahwa pilkada adalah bagian dari rezim pemilu sehingga asas-asas pemilu dalam Pasal 22E UUD 1945 berlaku juga untuk pilkada.

Namun, Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf Macan Effendi, menegaskan pembahasan tidak akan memakai metode omnibus law. Ia menilai Revisi UU Pemilu harus menjadi induk (babon) yang nantinya menjadi acuan untuk pembahasan aturan lain. “Yang kita mau jalankan RUU Pemilu dulu dibahas. Itu babon,” ujarnya.

Desakan Evaluasi Menyeluruh

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Ahmad Doli Kurnia, menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh. Menurutnya, putusan MK tentang pemisahan pemilu nasional dan lokal menjadi momentum penting untuk memperbaiki sistem demokrasi.

Doli menyoroti persoalan klasik yang terus muncul di setiap pemilu: politik uang, kampanye hitam, dan politik transaksional. “Semua itu tidak boleh lagi menjadi bagian dari pesta demokrasi kita,” tegasnya.

Selain itu, ia menekankan pentingnya:

  • Payung hukum digitalisasi pemilu, khususnya penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilu (Sirekap) yang selama ini tanpa dasar hukum.
  • Penguatan lembaga penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP) agar diisi orang berintegritas dan independen.
  • Pembentukan peradilan khusus pemilu supaya sengketa tidak lagi dibebankan pada MK.
  • Efisiensi biaya pilkada, yang selama ini dikenal sangat mahal.
  • Menurutnya, revisi UU Pemilu juga harus menjawab isu-isu kontemporer: keserentakan pemilu pasca putusan MK, transparansi biaya, hingga penguatan partai politik.

PDIP Dorong Proporsional Tertutup

Salah satu isu paling panas dalam revisi UU Pemilu adalah soal sistem pemilu. Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, menyatakan partainya akan mengusulkan penerapan sistem proporsional tertutup.

Hasto Kristiyanto

Dalam sistem ini, pemilih hanya bisa mencoblos partai, bukan calon legislatif secara langsung. Menurut Hasto, mekanisme ini penting agar partai lebih bertanggung jawab dalam kaderisasi dan hanya mencalonkan kader dengan kualifikasi tinggi.

“Sehingga yang dicalonkan adalah mereka yang memahami dan memiliki kualifikasi tinggi dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan,” ujar Hasto.

Ia menilai demokrasi elektoral berbasis popularitas selama ini memunculkan political industrial complex yang mengandalkan modal besar dan figur selebritas, bukan kapasitas.

Wacana serupa juga pernah disuarakan oleh Menko Polhukham Yusril Ihza Mahendra. Ia menilai sistem proporsional terbuka membuat orang berbakat tersingkir, sementara artis dan tokoh populer mendominasi daftar caleg. “Tidak hanya orang-orang yang punya uang, (maupun) artis yang menjadi politisi, tapi harus membuka kesempatan pada semua,” katanya.

Peneliti: Kodifikasi Lebih Komprehensif daripada Omnibus

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Muhammad Nur Ramadhan, menegaskan untuk revisi UU Pemilu, kodifikasi lebih tepat dibanding omnibus law. Menurutnya, kodifikasi memungkinkan pembahasan sistem politik secara menyeluruh dan mencegah persoalan krusial terlewat.

revisi uu pemilu
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Muhammad Nur Ramadhan

“Kalau kita ingin mereformasi sistem pemilu dan politik, maka UU Parpol dan UU Pilkada menjadi dua UU yang tidak kalah pentingnya untuk direvisi. Sebaiknya, ini dibahas secara bersamaan,” ujarnya.

Ia mengingatkan waktu pembahasan Revisi UU Pemilu semakin sempit karena proses seleksi KPU dan Bawaslu nasional sudah harus dimulai pada 2026. Jika masih menggunakan mekanisme lama dalam UU 7/2017, maka kerusakan sistem penyelenggara pemilu akan berulang.

“Kalau masih menggunakan mekanisme seleksi yang diatur UU 7/2017, maka kita akan mengulang kerusakan penyelenggara pemilu yang sama,” tegasnya.

Masa Depan Pilkada dan Penguatan Partai Politik

Selain soal sistem pemilu, masa depan pilkada juga akan jadi perdebatan besar. Menurut Doli, ada wacana apakah pilkada tetap langsung oleh rakyat atau dikembalikan ke DPR. “Kita juga harus hati-hati dan mengkajinya secara serius,” ujarnya.

Di sisi lain, penguatan partai politik menjadi fokus penting. Partai diharapkan lebih dekat dengan rakyat, mandiri, transparan, dan akuntabel. Dengan begitu, identifikasi partai (party id) masyarakat bisa lebih jelas dan memperkuat fondasi demokrasi.

Tarik-Menarik Politik dan Reformasi Demokrasi

Revisi UU Pemilu 2026 bukan sekadar teknis, tetapi menyangkut arah besar demokrasi Indonesia.

Di satu sisi, ada dorongan kodifikasi untuk menyatukan aturan pemilu, pilkada, dan partai politik demi efisiensi. Di sisi lain, ada perdebatan tajam mengenai sistem proporsional terbuka atau tertutup, soal keserentakan pemilu, digitalisasi, hingga masa depan pilkada langsung.

Yang jelas, revisi UU Pemilu akan menjadi pertarungan politik sekaligus kesempatan emas untuk memperbaiki kualitas demokrasi. Hasil akhir revisi UU Pemilu akan menentukan apakah pemilu ke depan bisa lebih bersih, murah, dan berkualitas, atau justru terjebak dalam konflik kepentingan partai politik.

Trending Topic

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related news