spot_img

Drama Baru Revisi UU Pemilu 2026: Kodifikasi Bikin Rapi, Omnibus Bikin Kacau?

Harian Masyarakat | Revisi UU Pemilu kembali masuk agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026. Komisi II DPR sudah mengusulkan RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pembahasan dijadwalkan dimulai awal 2026, dengan kemungkinan melibatkan juga UU Pilkada dan UU Partai Politik.

Namun, muncul perdebatan soal metode pembahasan: apakah menggunakan kodifikasi atau omnibus law. Dua metode ini pernah dipakai dalam pembuatan undang-undang sebelumnya dan kini menjadi sorotan dalam menentukan arah revisi UU Pemilu Indonesia.

Apa Itu Kodifikasi dan Omnibus Law?

Kodifikasi berarti menggabungkan beberapa undang-undang dengan tema yang sama menjadi satu aturan baru. Contoh suksesnya adalah UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatukan tiga UU sekaligus: UU Pilpres, UU Pileg, dan UU Penyelenggara Pemilu. Dengan kodifikasi, aturan jadi lebih sederhana, konsisten, dan mudah dipahami.

Omnibus law berbeda. Metode ini mengubah berbagai pasal dari banyak undang-undang tanpa benar-benar mencabutnya. Contoh nyata adalah UU Cipta Kerja yang merevisi 75 UU sekaligus. Masalahnya, metode omnibus sering dianggap tidak sistematis dan rawan menimbulkan tumpang tindih aturan karena undang-undang lama tetap berlaku.

DPR Masih Galau: Kodifikasi atau Omnibus?

Wakil Ketua DPR dari Fraksi Nasdem, Saan Mustopa, membuka peluang kodifikasi. Ia menilai UU Pemilu, Pilkada, dan Partai Politik saling beririsan dan bisa disatukan. Apalagi, Mahkamah Konstitusi lewat Putusan No 110/PUU-XXII/2025 sudah menegaskan bahwa pilkada masuk rezim pemilu.

revisi uu pemilu
Wakil Ketua DPR dari Fraksi NasDem, Saan Mustopa

Namun, Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, menolak ide omnibus law. Menurutnya, pembahasan akan dimulai dari RUU Pemilu sebagai “induk” baru, lalu diikuti aturan lain. Kodifikasi masih terbuka, tapi belum diputuskan.

Sementara itu, anggota DPR dari PDIP, Deddy Sitorus, menyatakan draf RUU Pemilu baru akan siap dibahas tahun depan sehingga keputusan soal metode belum bisa diambil sekarang.

Pandangan Akademisi: Kodifikasi Lebih Tepat

Peneliti PSHK, Muhammad Nur Ramadhan, mendorong DPR memilih kodifikasi. Menurutnya, omnibus law justru rawan melupakan isu krusial. Ia mengingatkan, revisi harus segera dimulai karena 2026 sudah memasuki fase seleksi penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu). Jika masih memakai UU lama, kualitas pemilu bisa makin buruk.

revisi uu pemilu
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Muhammad Nur Ramadhan

Ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, juga menegaskan kodifikasi lebih ideal. Kodifikasi membuat aturan konsisten, mudah dipahami, dan terintegrasi. Sebaliknya, omnibus law berpotensi menciptakan aturan tercecer seperti kasus UU Cipta Kerja.

Pakar pemilu dari UI, Titi Anggraini, menambahkan untuk revisi UU Pemilu, kodifikasi bisa menjadi instrumen pendidikan politik bagi publik karena strukturnya lebih jelas. Ia menolak omnibus law karena tidak cocok untuk sistem pemilu yang membutuhkan aturan runut dan koheren.

Isu-Isu Besar dalam Revisi UU Pemilu

Pembahasan revisi UU Pemilu tidak hanya soal metode. Ada isu besar lain yang ikut dibicarakan:

  1. Putusan MK tentang Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal
    MK memutuskan pemilu nasional dan lokal harus dipisahkan. DPR menilai hal ini momentum untuk memperbaiki sistem, meski implementasinya butuh kajian mendalam.
  2. Sistem Proporsional Tertutup vs Terbuka
    PDIP lewat Sekjen Hasto Kristiyanto mengusulkan kembali ke sistem proporsional tertutup agar kaderisasi partai lebih kuat. Usulan ini berbeda dengan sistem terbuka yang berlaku sekarang, di mana pemilih bisa langsung memilih calon legislatif.
  3. Politik Uang dan Transaksional
    DPR sepakat memperketat aturan untuk mencegah politik uang, kampanye hitam, dan transaksi politik yang merusak demokrasi.
  4. Digitalisasi Pemilu dan Sirekap
    Penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilu (Sirekap) masih tanpa payung hukum. Banyak pihak menilai digitalisasi perlu diatur jelas dalam revisi UU Pemilu.
  5. Lembaga Penyelenggara dan Peradilan Khusus Pemilu
    DPR mendorong penguatan KPU, Bawaslu, dan DKPP. Selain itu, ada usulan pembentukan peradilan khusus pemilu agar sengketa tidak lagi ditangani Mahkamah Konstitusi.
  6. Mahalnya Biaya Pilkada
    Efisiensi biaya pemilu dan pilkada juga menjadi sorotan utama.

Hasto Kristiyanto

Kodifikasi Lebih Konsisten, Omnibus Lebih Praktis?

Secara teori, kodifikasi menawarkan aturan yang terintegrasi, konsisten, dan mudah diimplementasikan. Metode ini juga lebih cocok untuk regulasi kepemiluan yang butuh kepastian hukum dan koherensi.

Sementara omnibus law dianggap lebih praktis karena bisa mengubah banyak aturan sekaligus tanpa harus mencabut UU lama. Namun, kelemahannya, aturan jadi tercecer, rawan inkonsistensi, dan bisa dimanfaatkan hanya untuk mengubah pasal-pasal tertentu yang menguntungkan elite.

Arah Reformasi Sistem Pemilu

Revisi UU Pemilu 2026 akan menjadi tonggak penting demokrasi Indonesia. Pilihan antara kodifikasi atau omnibus law akan sangat menentukan apakah aturan pemilu ke depan menjadi lebih sederhana, konsisten, dan berpihak pada rakyat, atau justru semakin ruwet dan hanya menguntungkan kelompok tertentu.

Debat ini bukan sekadar teknis hukum, melainkan pertaruhan atas kualitas demokrasi Indonesia. Pertanyaannya: apakah DPR berani memilih jalan kodifikasi untuk revisi UU Pemilu yang lebih terintegrasi, atau tetap tergoda pada jalan pintas ala omnibus law?

Trending Topic

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related news