Harian Masyarakat | Setahun sejak dilantik pada 20 Oktober 2024, pemerintahan Prabowo-Gibran bergerak cepat mengonsolidasikan kekuasaan. Dari empat partai pendukung saat Pilpres 2024, kini tujuh dari delapan partai di parlemen bergabung ke barisan pemerintah, menguasai 81 persen kursi DPR. PDI-P menjadi satu-satunya partai di luar pemerintahan, namun menyatakan diri sebagai “penyeimbang”, bukan oposisi.
Langkah politik ini mempercepat laju kebijakan, termasuk program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diklaim menjangkau 35 juta orang, dan pemangkasan regulasi untuk mempercepat birokrasi.
Pemerintahan Prabowo-Gibran juga melakukan restrukturisasi besar-besaran. Dalam waktu setahun, kabinet mengalami empat kali perombakan. Kini terdapat 53 posisi menteri atau setingkat menteri, 55 wakil menteri, dan lima kepala badan. Totalnya menjadi kabinet terbesar sejak Reformasi 1998.

Salah satu kementerian baru yang menonjol di era Prabowo-Gibran adalah Kementerian Haji dan Umrah, dibentuk 8 September 2025 untuk menangani lebih dari 200 ribu jemaah setiap tahun. Di sisi lain, Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) yang dipimpin Budiman Sudjatmiko mulai aktif dengan program pupuk gratis, renovasi rumah, hingga pemberian becak listrik untuk pembecak lansia. BP Taskin juga menyusun Rencana Induk Pengentasan Kemiskinan Nasional (Rinduk) sebagai panduan lintas kementerian.
Komitmen Antikorupsi dan Kritik Publik
Dalam berbagai kesempatan, Prabowo menegaskan perang terhadap korupsi. Dalam pidato kenegaraan 15 Agustus 2025, ia menyebut korupsi sebagai penyakit bangsa yang mengakar di seluruh instansi pemerintah dan BUMN.
Namun, di lapangan, persepsi publik terbelah. Kejaksaan Agung tengah mengusut dugaan korupsi di PT Pertamina (2018–2023) dengan kerugian negara Rp 285 triliun dan menetapkan 18 tersangka, termasuk pengusaha minyak Riza Chalid. KPK juga mengusut dugaan jual-beli kuota haji 2024 yang merugikan negara sekitar Rp 1 triliun.
Meski demikian, kritik muncul dari akademisi seperti Zaenur Rohman (Pusat Kajian Antikorupsi UGM) yang menilai pemberian amnesti dan abolisi bagi pelaku korupsi justru mencederai keadilan publik. “Komitmen Prabowo bagus di pidato, tapi kebijakan amnesti mencoreng citra pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Reformasi Polri dan Kekhawatiran Demokrasi
Satu tahun kepemimpinan Prabowo-Gibran juga dibayangi tuntutan reformasi Polri. Kasus kekerasan aparat, penangkapan massal demonstran, dan pembatasan ruang sipil memperkuat desakan publik agar kepolisian dibenahi total.
Pada 17 September 2025, Prabowo menunjuk mantan Wakapolri Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Presiden Bidang Keamanan dan Reformasi Kepolisian, serta berencana membentuk Komite Reformasi Polri. Namun hingga Oktober 2025, komite itu belum juga terbentuk.
Kapolri Listyo Sigit sempat mendahului langkah pemerintahan Prabowo-Gibran dengan membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri beranggotakan 52 perwira tinggi. Tapi wacana ini dipandang setengah hati oleh kelompok sipil. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menyebutnya “omong kosong”, apalagi setelah keluarnya Peraturan Kapolri No. 04/2025 yang memperluas kewenangan polisi menangkap dan menggeledah tanpa izin pengadilan.
Guru Besar Hukum Pidana Unsoed, Hibnu Nugroho, menegaskan reformasi sejati hanya bisa dilakukan pihak di luar struktur Polri. “Kalau reformasi dilakukan dari dalam, hasilnya akan stagnan,” ujarnya.
Represi dan Penurunan Indeks Demokrasi
Tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran juga diwarnai penangkapan besar-besaran terhadap aktivis dan demonstran. Puncaknya terjadi Agustus–September 2025, saat ribuan orang turun ke jalan menolak kenaikan tunjangan DPR. Polisi menahan hampir 1.000 orang. Beberapa tokoh LSM, seperti Delpedro Marhaen dari Lokataru Foundation, dijadikan tersangka dengan tuduhan menghasut dan menyebar informasi bohong.

Sidang praperadilan Delpedro di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menarik perhatian publik. Ibunya, Magda Antista, menyebut anaknya “dikambinghitamkan dan dizalimi”. Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai penangkapan ini simbol represi meluas di era Prabowo-Gibran. “Kritik dianggap gangguan, bukan aspirasi,” ujarnya.
Sejumlah lembaga internasional mencatat penurunan indeks demokrasi Indonesia.
- Freedom House menurunkan skor Indonesia dari 65 (2017) menjadi 56 (2025), menempatkannya dalam kategori “sebagian bebas”.
- Economist Intelligence Unit (EIU) menggolongkan Indonesia sebagai “flawed democracy”, dengan masalah kebebasan pers dan partisipasi politik rendah.
- International IDEA mencatat penurunan aspek keterwakilan dari 0,64 (2014) menjadi 0,6 (2024).
Namun, pemerintah membantah. Menteri HAM Natalius Pigai menyebut Indonesia justru mengalami “surplus demokrasi”. “Tidak ada satu pun keputusan pemerintah yang membatasi demokrasi, termasuk kebebasan berpendapat dan media,” ujarnya.

Meski demikian, aktivis dan akademisi menilai sebaliknya. Despan Heryansyah dari Universitas Islam Indonesia menyebut arah demokrasi “berbalik ke militerisme”. Ia menyoroti pelibatan TNI dalam program sipil seperti Makan Bergizi Gratis dan Proyek Strategis Nasional. “Ini bukan hanya penurunan demokrasi, tapi kemunduran ke era militeristik,” katanya.
Hurriyah dari Universitas Indonesia menilai fondasi kemunduran demokrasi sudah dibangun sejak akhir era Jokowi dan kini dilanjutkan era Prabowo-Gibran. “Koalisi politik yang terlalu besar membuat DPR kehilangan fungsi pengawasan. Kritik publik didelegitimasi,” ujarnya.
Ketegangan Pusat dan Daerah
Kebijakan fiskal pemerintah juga mengubah pola hubungan pusat-daerah. Alokasi Transfer ke Daerah (TKD) dalam APBN 2026 dipangkas menjadi Rp 693 triliun, turun drastis dari Rp 848 triliun pada 2025.
Pemangkasan ini membuat banyak daerah kesulitan menjalankan program dasar. Bupati Tapanuli Tengah, Masinton Pasaribu, mengeluhkan hilangnya kewenangan kabupaten mengelola hutan, tambang, dan laut. “Kami hanya bisa melihat kerusakan lingkungan tanpa bisa menindak,” katanya.
Direktur Eksekutif KPPOD, Herman Suparman, menilai kebijakan ini menjauh dari semangat desentralisasi. “Pusat semakin dominan, sementara daerah kehilangan daya hidup fiskal,” ujarnya.

Kasus HAM Berat dan Tanggung Jawab Negara
Setahun berlalu, belum ada kemajuan berarti dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Komnas HAM mencatat 17 kasus masih menggantung, termasuk Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Direktur Kebijakan Publik Raksha Initiatives, Wahyudi Djafar, mendesak langkah konkret. “Yang dibutuhkan bukan sekadar pidato atau janji, tapi mekanisme penyelesaian yang nyata dan berpihak pada korban,” ujarnya.
Tantangan Empat Tahun ke Depan
Pemerintahan Prabowo-Gibran menghadapi empat tantangan besar:
- Menjaga demokrasi agar tidak semakin menyusut oleh represi dan konsolidasi elite.
- Menegakkan hukum dan antikorupsi secara konsisten tanpa tebang pilih.
- Menyelesaikan kasus HAM berat yang telah lama diabaikan.
- Menyeimbangkan relasi pusat dan daerah agar otonomi tidak sekadar simbol.
Dengan kekuatan politik besar, Prabowo-Gibran kini memegang kendali hampir penuh atas lembaga negara. Pertanyaannya, apakah kekuasaan sebesar ini akan digunakan untuk memperbaiki sistem, atau justru mempersempit ruang demokrasi yang diperjuangkan selama dua dekade terakhir?















