Harian Masyarakat – Senyum itu muncul pelan, hanya sekejap, tapi meninggalkan kesan mendalam. Di tengah keramaian aula Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Jumat siang, 17 Oktober 2025, mantan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo—akrab disapa Jokowi—terlihat santai.
Ia baru saja menghadiri Dies Natalis ke-62 Fakultas Kehutanan UGM, acara yang penuh nuansa akademis dan nostalgia. Undangan itu datang sebulan sebelumnya, dibawa langsung oleh Dekan Fakultas Kehutanan, Sigit Sunarta, bersama jajaran dosen.
Jokowi, alumnus yang kerap disambut hangat di kampus biru itu, hadir bukan hanya sebagai tamu kehormatan, tapi juga sosok yang masih lekat dalam ingatan publik—pemimpin yang pernah menggagas banyak proyek besar, termasuk Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau yang kini dikenal dengan nama “Whoosh”.
Namun siang itu, bukan suasana akademis yang mencuri perhatian.
Senyum yang Mengandung Banyak Arti
Selesai berbincang ringan dengan tamu undangan, Jokowi dihampiri awak media. Suara kamera berdenting, mikrofon disodorkan, dan satu pertanyaan tajam pun meluncur:
“Pak, terkait Whoosh sekarang tidak pakai APBN itu tanggapannya gimana, Pak?”
Pertanyaan itu mengacu pada keputusan bahwa proyek Whoosh kini tidak lagi dibiayai dari APBN, di tengah isu utang yang menumpuk hingga Rp116 triliun.
Jokowi tidak langsung menjawab. Ia hanya menggumam pelan, “Hmmm?” lalu tersenyum tipis. Diam beberapa detik, seolah menimbang sesuatu yang berat—dan memilih tidak menambah satu kata pun.
Senyum itu sederhana, tapi menyimpan makna. Dalam komunikasi nonverbal, gumaman “hmmm” sering diartikan sebagai tanda seseorang sedang berpikir, menimbang, bahkan mungkin menyiratkan keraguan atau sikap netral terhadap persoalan yang diajukan.
Sesaat kemudian, Jokowi membalikkan badan dan melangkah pergi, meninggalkan wartawan yang masih menunggu jawaban.
Proyek Kebanggaan yang Menjadi Beban
Kereta Cepat Whoosh adalah salah satu proyek kebanggaan era kepemimpinan Jokowi. Diresmikan pada 2 Oktober 2023, Whoosh menjadi kereta cepat pertama di Indonesia dan Asia Tenggara, melaju dengan kecepatan hingga 350 kilometer per jam.
Nama “Whoosh” terinspirasi dari suara kereta yang melesat kencang, sekaligus akronim dari Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Hebat.
Proyek ini dijalankan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC)—perusahaan patungan antara konsorsium Indonesia (PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia/PSBI, 60 persen) dan konsorsium China (Beijing Yawan HSR Co. Ltd, 40 persen).
PSBI sendiri dipimpin oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan porsi saham terbesar 58,53 persen, disusul Wijaya Karya, PT Jasa Marga, dan PT Perkebunan Nusantara VIII.
Namun, di balik kemegahannya, proyek ini membawa beban finansial besar.
Total investasi yang semula direncanakan 6,07 miliar dolar AS membengkak menjadi 7,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp116 triliun. Sebanyak 75 persen pembiayaan berasal dari pinjaman China Development Bank, sementara sisanya dari modal para pemegang saham.
Akibatnya, PT KAI dan konsorsium BUMN lainnya kini menanggung kerugian besar. Hingga semester I 2025, PSBI mencatat kerugian Rp1,625 triliun, di mana KAI menanggung Rp951,48 miliar—angka yang membuat proyek ini disebut sebagai “bom waktu finansial.”
Direktur Utama KAI, Bobby Rasyidin, bahkan mengakui tekanan berat itu di depan anggota DPR RI.
“Kami akan koordinasi dengan Danantara untuk masalah KCIC ini… Ini bom waktu,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat di Senayan, 20 Agustus 2025.
Pemerintah Menolak Bayar Utang Whoosh Pakai APBN
Ketika usulan agar pemerintah menggunakan APBN untuk menutup utang Whoosh mencuat, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa langsung menolak tegas.
Menurutnya, proyek Whoosh dikelola oleh BUMN di bawah Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara)—badan yang sudah memiliki manajemen dan sumber dividen sendiri.
“KCIC di bawah Danantara kan, mereka sudah punya manajemen sendiri, punya dividen sendiri,” ujar Purbaya saat Media Gathering di Bogor, Jumat 10 Oktober 2025.
Ia menambahkan, Danantara telah mengantongi dividen Rp80 triliun per tahun, sehingga utang Whoosh seharusnya bisa diselesaikan tanpa dana negara.
“Jangan kita lagi, karena kan kalau enggak ya semua kita lagi, termasuk dividennya,” tegasnya.
Kini, Whoosh berdiri megah menghubungkan Jakarta dan Bandung dalam waktu kurang dari satu jam—simbol kemajuan teknologi transportasi Indonesia. Namun di sisi lain, proyek ini juga menjadi cermin dilema pembangunan: antara ambisi besar dan konsekuensi ekonomi yang berat.
Dan di tengah semua hiruk-pikuk itu, sosok Jokowi yang dulu begitu antusias meresmikannya kini memilih diam dan tersenyum.
Senyum yang bisa dibaca sebagai bentuk keyakinan, keraguan, atau mungkin kelelahan—mewakili perjalanan panjang proyek yang pernah ia sebut sebagai lompatan sejarah bangsa, tapi kini berubah menjadi ujian finansial bagi generasi penerusnya.















