Harian Masyarakat | Tanjung Verde, negara kepulauan mungil di lepas pantai barat Afrika dengan populasi sekitar 525 ribu jiwa, mencetak sejarah besar. Untuk pertama kalinya, mereka lolos ke Piala Dunia 2026 setelah mengalahkan Eswatini 3-0 di Stadion Nasional Praia. Kemenangan itu memastikan mereka finis sebagai juara Grup D Kualifikasi Afrika, unggul empat poin dari raksasa benua, Kamerun.
Bagi rakyat Tanjung Verde, hari itu bukan sekadar kemenangan sepak bola. Pemerintah bahkan memberi izin kerja setengah hari agar semua orang bisa menonton pertandingan. Stadion berkapasitas 15.000 orang penuh sesak, sementara ribuan lainnya memadati jalan-jalan di Praia.
Gol-gol kemenangan dicetak oleh Dailon Rocha Livramento, Willy Semedo, dan Stopira. Presiden José Maria Neves hadir langsung menyaksikan sejarah itu. Bubista, pelatih yang sudah memimpin sejak 2020, menahan air mata saat berkata, “Ini kemenangan untuk seluruh rakyat kami, dan untuk mereka yang berjuang demi kemerdekaan kami. Ini momen spesial dalam perayaan 50 tahun kemerdekaan.”
Dari Negara Kecil ke Panggung Dunia

Dengan keberhasilan ini, Tanjung Verde menjadi negara berpenduduk terkecil kedua dalam sejarah yang lolos ke Piala Dunia. Hanya Islandia yang lebih kecil, dengan sekitar 350 ribu jiwa saat tampil di Rusia 2018. Dalam daftar FIFA, Tanjung Verde hanya duduk di peringkat ke-70 dunia, jauh di bawah banyak negara Asia dan Eropa yang tak pernah lolos.
Namun, keberhasilan mereka bukan kebetulan. Setelah gagal di Piala Afrika 2025 dan sempat kalah 1-4 dari Kamerun di awal kualifikasi, Tanjung Verde bangkit. Lima kemenangan beruntun memastikan langkah mereka ke Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko tahun depan.
Di fase grup, mereka bahkan menundukkan Kamerun 1-0 di kandang sendiri dan menahan imbang Libya 3-3 di laga dramatis. Kamerun, yang berisi pemain dari Liga Inggris seperti Bryan Mbeumo dan Carlos Baleba, kini harus berjuang melalui playoff.
Tim Tanpa Liga Besar, Penuh Diaspora

Keajaiban ini lahir bukan dari sistem liga domestik yang kuat. Liga utama Tanjung Verde hanya diikuti 12 tim dan minim infrastruktur. Sumber kekuatan mereka justru datang dari diaspora, warga keturunan Tanjung Verde yang lahir dan besar di luar negeri.
Sebelas pemain inti dalam laga melawan Eswatini semuanya diaspora. Ada yang lahir di Belanda, Portugal, Prancis, Irlandia, Amerika Serikat, bahkan Uni Emirat Arab.
Bek Roberto “Pico” Lopes, yang lahir di Dublin, Irlandia, menceritakan betapa uniknya cara mereka direkrut. “Saya pertama kali dipanggil lewat LinkedIn,” katanya. “Kami tersebar di seluruh dunia, tapi saat bersatu, kami bisa mencapai hal luar biasa.”
Pelatih Bubista memang sengaja membangun jaringan diaspora sejak 2020. Ia tahu tak mungkin membentuk tim kompetitif hanya dari pemain lokal. Hasilnya kini terbukti. Dari 23 pemain yang dibawa, hanya satu yang bermain di liga top Eropa: Logan Costa, bek Villarreal. Sisanya bermain di klub-klub kecil di Portugal, Turki, Hungaria, atau bahkan Uni Emirat Arab.
Mantan pemain Manchester United, Bebe, juga jadi bagian kisah ini. Meski kini bermain di divisi tiga Spanyol bersama UD Ibiza, namanya kembali dikenal berkat kelolosan negaranya.
Stabilitas dan Kepercayaan Jadi Kunci
Rahasia lain keberhasilan Tanjung Verde adalah konsistensi. Bubista, yang bernama asli Pedro Leitao Brito, dipercaya penuh sejak 2020. Federasi tak pernah mengganti pelatih meski sempat gagal di Piala Afrika.
Kepercayaan itu terbayar lunas. Di bawah Bubista, Hiu Biru menjadi tim yang kompak, disiplin, dan percaya diri. Mereka membangun pertahanan kokoh, memaksimalkan efisiensi, dan memanfaatkan peluang sekecil apa pun.
Pesta di Praia, Mimpi di Dunia

Setelah peluit akhir dibunyikan, seluruh Praia berubah jadi pesta. Lagu, tarian, dan sorak sorai terdengar sepanjang malam. Warga turun ke jalan membawa bendera biru laut, menari sambil menangis haru.
Tanjung Verde kini bergabung dengan Ghana, Mesir, Tunisia, Maroko, dan Aljazair sebagai enam wakil Afrika yang sudah memastikan tiket ke Piala Dunia. Mereka juga menjadi negara debutan ketiga di turnamen 2026 setelah Uzbekistan dan Yordania.
Kontras dengan Indonesia
Keberhasilan Tanjung Verde menampar kenyataan pahit bagi Indonesia. Negara dengan lebih dari 280 juta penduduk, liga profesional yang sudah berjalan puluhan tahun, stadion megah, dan dukungan pemerintah yang besar, tetap belum pernah lolos ke Piala Dunia.
Indonesia bahkan kerap tersingkir di fase awal kualifikasi Asia, meski punya sumber daya manusia dan finansial jauh lebih besar. Tidak ada masalah populasi, tapi ada masalah manajemen, arah pembinaan, dan ketergantungan pada “hasil instan”.
Tanjung Verde, dengan setengah juta jiwa dan liga kecil, bisa menembus dunia karena mereka punya rencana jangka panjang, stabilitas pelatih, dan kemampuan memanfaatkan diaspora. Mereka bekerja dalam senyap, tanpa drama, tanpa klaim besar.

Pelajaran untuk Sepak Bola Indonesia
Kisah Tanjung Verde adalah cermin keras untuk negara besar seperti Indonesia. Bahwa ukuran negara tidak menentukan prestasi. Yang menentukan adalah arah, visi, dan konsistensi.
Mereka tidak punya stadion megah, tapi punya sistem pencarian pemain yang kreatif. Mereka tidak punya bintang mahal, tapi punya pelatih yang dipercaya jangka panjang. Mereka tidak bicara tentang “proyek besar”, tapi bekerja dengan disiplin dan kepercayaan.
Ketika Hiu Biru akan menantang Brasil, Inggris, atau Argentina di Piala Dunia nanti, dunia akan kembali menoleh. Tidak karena mereka favorit, tapi karena mereka membuktikan bahwa mimpi besar bisa lahir dari tempat kecil.
Dan di sisi lain dunia, Indonesia masih menatap layar, menonton, dan bertanya: sampai kapan hanya jadi penonton?















