Harian Masyarakat | Sebuah investigasi yang dilakukan organisasi kampanye Global Witness menemukan bahwa TikTok merekomendasikan istilah pencarian seksual kepada akun anak berusia 13 tahun. Peneliti membuat akun palsu dengan tanggal lahir anak-anak, menyalakan fitur “Restricted Mode”, dan menggunakan ponsel yang bersih tanpa riwayat pencarian. Namun, algoritma TikTok tetap menyarankan kata kunci yang mengarah ke konten seksual eksplisit.
Temuan ini terungkap setelah Global Witness menjalankan dua gelombang pengujian. Pertama pada Maret–April 2025 sebelum aturan baru Online Safety Act (OSA) berlaku penuh. Kedua pada Juli–Agustus 2025 setelah aturan itu resmi diberlakukan di Inggris.
Konten Dewasa Hanya Dua Klik dari Akun Anak

Dalam beberapa kasus, hanya butuh dua klik sejak akun dibuat untuk bisa sampai ke video dewasa. Caranya sederhana: klik kolom pencarian lalu pilih rekomendasi yang muncul. Hasilnya, peneliti menemukan konten mulai dari perempuan memperlihatkan pakaian dalam hingga video penetrasi seksual.
Global Witness juga menemukan konten berbahaya yang disamarkan agar lolos moderasi, misalnya video dewasa yang ditampilkan di balik gambar atau video polos. Bahkan, ada dua video yang memperlihatkan seseorang yang tampak di bawah umur. Video ini langsung dilaporkan ke Internet Watch Foundation untuk penyelidikan lebih lanjut.
Kritik: Bukan Hanya Gagal Moderasi, Tapi Algoritma Aktif Mendorong
Menurut Global Witness, masalah ini bukan sekadar soal moderasi konten. Algoritma TikTok justru secara aktif mendorong akun remaja menuju konten dewasa. Rekomendasi pencarian yang muncul banyak yang misoginis, menampilkan istilah merendahkan perempuan, dan bahkan ada yang diduga mengacu pada anak-anak.
Sejumlah pengguna TikTok juga melaporkan pengalaman serupa. Mereka membagikan tangkapan layar rekomendasi pencarian yang bernuansa seksual. Komentar pengguna memperlihatkan kebingungan, misalnya “can someone explain to me what is up w my search recs pls?” atau “what’s wrong with this app?”.

Tanggapan TikTok
TikTok menyatakan pihaknya berkomitmen melindungi anak-anak dan segera mengambil tindakan setelah diberi tahu oleh Global Witness. Perusahaan menyebut telah menghapus puluhan konten, memperbaiki sistem rekomendasi, serta menekankan kebijakan keamanan anak yang sudah diterapkan.
Seorang juru bicara TikTok mengatakan, “Begitu kami mengetahui laporan ini, kami langsung menyelidiki, menghapus konten yang melanggar kebijakan, dan melakukan perbaikan pada fitur rekomendasi pencarian.”
TikTok juga mengklaim memiliki lebih dari 50 fitur keamanan, termasuk penghapusan 9 dari 10 video melanggar sebelum ditonton. Namun, dalam praktiknya, penelitian menunjukkan fitur perlindungan ini tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Regulasi dan Kewajiban Hukum
Online Safety Act di Inggris mewajibkan platform media sosial mencegah anak-anak mengakses konten berbahaya, termasuk pornografi. Aturan ini berlaku sejak 25 Juli 2025 dan dikelola oleh regulator komunikasi Inggris, Ofcom.
Dalam pedoman OSA, perusahaan teknologi yang berisiko menampilkan konten berbahaya harus mengatur algoritmanya agar menyaring konten dari feed anak-anak. Pelanggaran terhadap aturan ini bisa berujung pada investigasi resmi.
Mark Stephens, pengacara media di Inggris, menilai temuan ini adalah pelanggaran jelas terhadap hukum. “Ofcom harus segera menyelidiki agar undang-undang ini benar-benar berjalan,” katanya.
Tekanan Publik dan Tantangan Global

Kasus ini memicu kekhawatiran luas karena TikTok kini menjadi salah satu mesin pencari terbesar, terutama di kalangan Gen Z. Data Ofcom menunjukkan hampir separuh generasi muda lebih memilih mencari informasi lewat TikTok dibanding Google. Bahkan, lebih dari seperempat anak usia 5–7 tahun di Inggris sudah menggunakan TikTok, sepertiganya tanpa pengawasan.
Bagi banyak orang tua dan pengamat, masalah ini bukan sekadar soal teknologi. Ada risiko psikologis dan perkembangan anak yang bisa terganggu jika mereka diarahkan ke konten dewasa sejak dini.
Global Witness mendesak Ofcom turun tangan untuk memastikan TikTok patuh terhadap hukum dan menghentikan praktik algoritma yang membahayakan. Menurut mereka, perlindungan anak bukanlah bentuk sensor, melainkan kewajiban sosial dan hukum.
Penelitian ini mengungkap bahwa perlindungan anak di TikTok masih lemah. Meski perusahaan mengklaim punya fitur keamanan, kenyataannya algoritma aplikasi tetap bisa membawa anak ke konten dewasa hanya dalam hitungan klik.
Masalah ini kini menjadi ujian besar bagi TikTok dan regulator di Inggris. Pertanyaan utamanya: apakah hukum baru cukup kuat untuk memaksa perusahaan teknologi benar-benar melindungi anak-anak dari bahaya dunia digital?















