Harian Masyarakat | Kementerian Sosial (Kemensos) resmi menyerahkan daftar nama calon penerima gelar Pahlawan Nasional 2025 kepada Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). Dari sepuluh nama yang diusulkan, satu nama menimbulkan kontroversi besar: Soeharto, presiden kedua Republik Indonesia yang berkuasa selama 32 tahun di bawah rezim Orde Baru.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf menjelaskan, pengusulan ini berasal dari masyarakat dan telah melalui tahap panjang, mulai dari seminar, rekomendasi tokoh daerah, bupati, gubernur, hingga ke pusat. “Setelah itu kami matangkan dan finalisasi. Kami tanda tangani dan kirim ke Dewan Gelar,” ujarnya.
Menurut Saifullah, nama Presiden RI kedua itu sudah dua kali diajukan sebelumnya, pada 2010 dan 2015. Tahun ini, ia menilai seluruh syarat administratif telah terpenuhi. “Secara normatif sudah selesai semua,” katanya.

Gelombang Penolakan dari Masyarakat Sipil
Keputusan pemerintah tetap mencantumkan nama Soeharto mendapat kecaman luas dari kelompok masyarakat sipil, keluarga korban pelanggaran HAM, serta lembaga HAM nasional dan internasional. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) menolak keras langkah ini.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, menyebut langkah Kemensos sarat muatan politik. “Kami kecewa karena audiensi kami tidak dihiraukan. Soeharto tidak pantas diberi gelar pahlawan. Rezimnya penuh kekerasan dan kejahatan HAM,” ujarnya.
Penolakan ini juga disertai dengan surat terbuka yang ditandatangani lebih dari 100 lembaga dan tokoh, serta lebih dari 6.000 tanda tangan warga. Mereka menilai, pengusulan itu bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang mensyaratkan keteladanan dan kemanusiaan.

30 Lembaga Internasional Ikut Menolak
Penolakan tersebut tak hanya datang dari dalam negeri. Jane Rosalina, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, menyebut ada 30 lembaga internasional yang menandatangani joint statement menolak pengangkatan Soeharto menjadi pahlawan nasional. “Kami juga sudah menyerahkannya ke Kementerian Sosial,” kata Jane.
Menurutnya, Soeharto adalah simbol kekuasaan otoriter dan pelanggaran HAM. “Negara di bawah Soeharto sudah bertransformasi menjadi mesin pembunuh. Ada pembatasan kebebasan, perampasan sumber daya alam, kekerasan terhadap perempuan, pembredelan pers, dan pembatasan partai politik,” ujarnya.
Jane mengingatkan, Komnas HAM telah menetapkan sembilan kasus pelanggaran HAM berat di masa Soeharto, termasuk Tragedi 1965/66, Petrus, Tanjung Priok, Talangsari, Trisakti dan Semanggi, hingga Kerusuhan Mei 1998. “Kalau melihat rekam jejak berdarah itu, tentu Soeharto tidak layak disebut pahlawan,” tegasnya.
Kritik dari Akademisi dan Tokoh Nasional
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menilai Soeharto tidak memenuhi syarat moral sebagaimana diatur dalam UU No. 20/2009. “Mengacu pada syarat umum poin keempat, pendek kata Soeharto tidak memenuhi syarat berkelakuan baik,” ujarnya.
Menurut Hendardi, pelanggaran HAM dan korupsi di masa Orde Baru menjadi bukti kuat mengapa ia dilengserkan melalui gerakan reformasi 1998. Ia menilai tidak ada klarifikasi politik atau putusan pengadilan yang tuntas atas kejahatan yang terjadi pada masa pemerintahannya, sehingga pemberian gelar pahlawan menjadi tidak relevan.
Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, juga menolak. “Soeharto adalah figur kontroversial. TAP MPR yang mencabut kebijakan KKN belum otomatis menghapus tanggung jawab hukum. Tuntutan perdata terhadapnya bahkan belum tuntas,” katanya.

Antropolog Universitas Indonesia, Suraya Affif, menambahkan, stabilitas yang dibangun Soeharto terjadi lewat represi militer. “Dia memang membuat stabilitas, tapi dengan militer. Itu yang membuat sipil dan militer terus berhadap-hadapan,” ujarnya.
Luka Lama dan Pemutihan Sejarah
Bagi banyak korban, langkah pemerintah ini dianggap bentuk pengingkaran terhadap sejarah. GEMAS menilai, gelar pahlawan untuk Soeharto adalah upaya sistematis untuk “memutihkan” masa lalu dan menghapus ingatan kolektif bangsa tentang penderitaan rakyat di bawah Orde Baru.
“Kalau kita membayangkan Soeharto sebagai pahlawan nasional, ini adalah bentuk nyata dari lupa dan pengingkaran sejarah oleh negara terhadap penderitaan jutaan korban kekerasan,” kata Jane Rosalina.
Ia menambahkan, pemberian gelar itu akan melegitimasi kekuasaan yang dibangun di atas darah dan air mata. “Bagaimana mungkin negara memberikan penghargaan simbolik dan finansial kepada pelanggar HAM?” ujarnya.
Jejak Hukum dan Korupsi yang Tak Terhapus

Soeharto memang sering disebut sebagai “Bapak Pembangunan”, namun catatan korupsi di bawah pemerintahannya tak terbantahkan. Ia pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus penyalahgunaan dana yayasan pada tahun 2000, tetapi kasusnya dihentikan oleh Kejaksaan Agung melalui SKP3 pada 2006 dengan alasan kesehatan.
Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian menyatakan penghentian itu prematur. Laporan Bank Dunia dan UNODC melalui Stolen Asset Recovery Initiative tahun 2007 menempatkan Soeharto sebagai pemimpin paling korup di abad ke-20 dengan dugaan kekayaan ilegal mencapai miliaran dolar AS.
Dimensi Politik di Balik Usulan
Banyak pengamat menilai, langkah politik ini tak lepas dari dinamika kekuasaan saat ini. Presiden Prabowo Subianto, yang merupakan mantan menantu Soeharto, disebut memiliki hubungan historis dengan keluarga Cendana. Dalam kampanye Pilpres 2014, Prabowo bahkan pernah berjanji menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Partai Golkar, partai peninggalan Orde Baru, juga secara konsisten mendorong pengusulan ini sejak 2008. Kini, dengan kehadiran Titiek Soeharto di DPR, jaringan politik Cendana kembali memiliki pengaruh nyata di parlemen.
Potensi Legitimasi Politik dan Beban Moral

Bila gelar Pahlawan Nasional benar-benar disahkan, Soeharto akan mendapatkan hak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan serta tunjangan bagi ahli warisnya yang bersumber dari APBN, uang rakyat, termasuk dari korban rezimnya.
Hal ini menimbulkan pertanyaan moral serius: apakah negara rela mengeluarkan dana publik untuk menghormati sosok yang meninggalkan luka mendalam bagi bangsanya sendiri?
KontraS menegaskan, langkah ini akan menjadi preseden buruk. “Negara tidak seharusnya memberikan pengakuan simbolik, politik, dan finansial kepada aktor yang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar HAM,” tegas Dimas Bagus Arya.
Pertaruhan Ingatan Bangsa
Usulan gelar pahlawan bagi Soeharto kini menjadi ujian besar bagi arah moral bangsa. Apakah negara akan berpihak pada korban atau pada pelaku? Apakah bangsa ini akan melanjutkan budaya impunitas atau menegakkan keadilan sejarah?
Rekam jejak panjang Soeharto telah meninggalkan dua warisan besar: pembangunan fisik dan luka sosial. Di titik inilah publik menunggu keputusan akhir dari Presiden Prabowo Subianto: apakah akan mengabadikan mantan mertuanya sebagai pahlawan, atau menghormati sejarah dengan menolak glorifikasi terhadap masa lalu yang berdarah.















