Harian Masyarakat | Nur Amira (37), seorang ibu tunggal asal Payakumbuh, Sumatera Barat, hidup dalam ketidakpastian sejak Oktober 2024. Ia dideportasi dari Indonesia ke Malaysia karena dianggap warga Malaysia berdasarkan paspor dan akta lahir lama. Namun, ketika mencoba mengurus dokumen di Jabatan Pendaftaran Negara Malaysia, data dirinya tidak ditemukan karena sudah 30 tahun lebih meninggalkan negeri itu.
Akibatnya, ia ditangkap otoritas imigrasi Malaysia dan dipenjara dua bulan di Penjara Kajang. Setelah itu, ia dipulangkan ke Indonesia menggunakan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) dari KJRI Johor Bahru.
Nur Amira kembali ke Sumbar dan sempat berkumpul dengan anak semata wayangnya, Zahira (14-15 tahun), selama lima bulan. Namun kebahagiaan itu tidak lama. Saat mengurus KTP di Dinas Catatan Sipil, ia diminta membawa surat keterangan WNI dari Imigrasi Agam.
SPLP miliknya ditahan untuk diverifikasi. Dua pekan kemudian, keluar surat pembatalan SPLP dari KJRI Johor Bahru. Sejak pertengahan September 2025, Nur Amira ditahan di ruang detensi Imigrasi Agam tanpa adanya surat berita acara penahanan.
Jeritan Zahira untuk Menyelamatkan Ibunya
Kasus ini menyeret nasib Zahira, siswi SMPN 1 Situjuah Limo Nagari. Dalam surat terbuka tertanggal 24 September 2025 kepada Kepala Kantor Imigrasi Agam, Zahira memohon agar ibunya tidak kembali dideportasi.
“Ibu saya bukan seorang kriminal. Sejak lahir hanya ibu yang membesarkan saya. Kalau ibu dideportasi lagi, masa depan saya akan hancur,” tulis Zahira.
Zahira menekankan bahwa ayahnya tidak pernah bertanggung jawab sejak ia lahir. Hanya ibunya yang menjadi penopang hidup dan biaya sekolahnya. Kini, tanpa ibunya, Zahira terancam putus sekolah karena tidak ada biaya.

Surat tersebut ditembuskan kepada Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan di Jakarta serta Ombudsman RI Perwakilan Sumbar.
Ombudsman Turun Tangan
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumbar, Adel Wahidi, membenarkan pihaknya menerima laporan Zahira. Ombudsman masih meminta klarifikasi dari Imigrasi Agam sebelum menentukan langkah lebih lanjut.
Menurut Adel, kasus ini rumit karena Nur Amira tidak diakui sebagai warga negara Indonesia maupun Malaysia. “Kalau dideportasi lagi ke Malaysia, risikonya dia masuk secara ilegal dan bisa dipenjara kembali di sana. Karena itu, kami akan cari solusi dengan asas keadilan,” ujarnya.
Kesaksian Rekan Kerja
Fadhilla Putri (38), atasan tempat Nur Amira bekerja di Limapuluh Kota, menegaskan bahwa Amira sudah puluhan tahun tinggal di Sumbar dan memiliki KTP Indonesia sejak 2006. Ia heran mengapa status kewarganegaraannya tiba-tiba dipersoalkan.
Menurut Fadhilla, persoalan muncul setelah Nur Amira keluar dari pekerjaan sebelumnya. Mantan bosnya melaporkan Amira ke Imigrasi sebagai warga negara asing. Laporan itu berlanjut pada deportasi, meski Malaysia pun menolak mengakuinya.
“(Nur Amira) ditahan tanpa surat penahanan. Sampai kini tidak ada kejelasan,” kata Fadhilla.

Status Masih Buram
Pihak Imigrasi Agam, melalui Kasi Teknologi Informasi dan Komunikasi Keimigrasian, Putu Agus Sugiarto, membenarkan bahwa Nur Amira masih dalam proses di seksi intelijen dan penindakan keimigrasian. Namun, belum ada penjelasan resmi mengenai alasan penahanan maupun solusi atas status kewarganegaraannya.
Ancaman Nyata bagi Masa Depan Anak
Kisah Nur Amira mencerminkan betapa peliknya masalah stateless atau tanpa kewarganegaraan. Ia sudah lama hidup di Indonesia, berkeluarga, bekerja, dan memiliki anak. Namun kini ia terjebak dalam ruang kosong hukum, tidak diakui Indonesia maupun Malaysia.
Bagi Zahira, ancaman deportasi ibunya berarti kehilangan masa depan. “Kalau ibu saya dideportasi lagi, saya akan terlantar dan masa depan saya akan hancur,” tulisnya.
Kasus ini kini menjadi ujian bagi pemerintah dan aparat hukum. Apakah kemanusiaan dan hak seorang anak untuk hidup bersama ibunya akan diutamakan di atas rumitnya birokrasi kewarganegaraan?