Harian Masyarakat | Timothy Anugerah Saputra dikenal sebagai mahasiswa Universitas Udayana (Unud) yang cerdas, kritis, dan vokal terhadap isu sosial. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) jurusan Sosiologi ini sering tampil dalam forum kampus untuk menyuarakan pandangan tentang militerisme, kapitalisme, dan keadilan sosial.
Namun, Rabu pagi, 15 Oktober 2025, Timothy ditemukan tewas setelah diduga melompat dari lantai empat Gedung FISIP Universitas Udayana di Denpasar, Bali. Kepergiannya yang mendadak mengguncang publik dan menimbulkan gelombang duka di kalangan sivitas akademika.
Unggahan akun Front Muda Revolusioner menggambarkan rasa kehilangan yang mendalam: “Gerakan kami telah kehilangan seorang pejuang yang tulus. Kamerad Timothy berpulang setelah berjuang panjang melawan penyakit mental.”
View this post on Instagram
Dugaan Perundungan Timothy Anugerah Saputra dan Percakapan Tak Etis
Sesaat setelah kabar kematian Timothy Anugerah Saputra tersebar, muncul tangkapan layar percakapan grup WhatsApp mahasiswa Universitas Udayana yang berisi candaan dan olok-olok soal kematiannya. Percakapan itu viral dan menimbulkan kemarahan publik karena dianggap tidak berempati.

Para mahasiswa yang terlibat diketahui aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan. Setelah tekanan publik meningkat, mereka membuat video permintaan maaf. Enam di antaranya kemudian dipecat tidak hormat dari organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (Himapol), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FISIP, dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kelautan dan Perikanan.
Pihak Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof. Dr. IGNG Ngoerah juga mengambil tindakan serupa terhadap sejumlah dokter muda (koas) dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang ikut melontarkan komentar tak pantas. Mereka dikembalikan ke fakultas untuk pemeriksaan internal.
Penyelidikan Polisi dan Sikap Keluarga
Kepolisian Sektor Denpasar Barat telah memeriksa 19 saksi, termasuk teman, dosen, dan orang tua korban. Polisi menyimpulkan bahwa Timothy jatuh dari lantai empat gedung FISIP setelah terlihat keluar dari lift dan duduk di kursi dekat lokasi kejadian.
Kapolsek Denpasar Barat Kompol Laksmi Trisnadewi menegaskan belum ada bukti perundungan langsung yang dialami Timothy. “Dari keterangan saksi, tidak ada yang menyebut korban mengalami perundungan sebelumnya,” ujarnya.
Sementara itu, ibu korban memilih mengikhlaskan kepergian anaknya, namun sang ayah meminta penyelidikan menyeluruh untuk memastikan penyebab kematian satu-satunya putra mereka.
Pihak Kampus Membantah Tekanan Akademik
Ketua Unit Komunikasi Publik Universitas Udayana, Ni Nyoman Dewi Pascarani, memastikan bahwa kematian Timothy bukan karena tekanan akademik. Ia menjelaskan, proses bimbingan skripsi baru berjalan sekitar 20 hari dengan dua kali pertemuan.
“Tidak ada catatan atau keluhan dari almarhum selama proses pembimbingan,” kata Dewi dalam konferensi pers di Denpasar. Ia juga menegaskan, ucapan tak berempati di media sosial terjadi setelah kematian Timothy dan tidak menjadi penyebab utama.
Tim Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) telah dibentuk pada 17 Oktober 2025 untuk mengusut kasus ini. Satgas juga akan menghadirkan ahli bahasa guna menentukan apakah tindakan para mahasiswa tergolong perundungan.
Jika terbukti, sanksi terberat berupa pemberhentian dari universitas bisa dijatuhkan.
Masalah Lama: Kekerasan di Dunia Kampus

Kematian Timothy membuka kembali luka lama dunia pendidikan: perundungan yang terus berulang di lingkungan akademik. Kasus serupa sebelumnya terjadi di Universitas Lampung dan Universitas Diponegoro, di mana mahasiswa meninggal setelah mengalami kekerasan dalam organisasi kampus.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, menyebut praktik kekerasan di kampus berakar dari relasi kuasa yang timpang antara senior dan junior. “Tradisi dominasi dan superioritas masih hidup di kampus. Guyonan bisa berubah jadi kekerasan yang fatal,” katanya.
Ia menilai Satgas PPKPT sering kali hanya formalitas dan jarang melakukan sosialisasi aktif. “Satgas seharusnya jadi garda depan, bukan sekadar pelengkap administrasi,” ujarnya.
Tanggung Jawab Negara dan Kampus
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Brian Yuliarto menegaskan kampus harus menjadi ruang aman bagi mahasiswa. Ia telah menginstruksikan Rektor Universitas Udayana, Made Suyadnya, membentuk tim investigasi dan mendampingi keluarga korban.
“Kita ingin kampus bebas dari bullying. Semua proses harus dilakukan sesuai aturan,” ujar Brian. Ia juga memperkenalkan portal Sahabat (Satgas Harmoni, Anti Kekerasan, dan Bantuan Tanggap) di laman sahabat.kemdiktisaintek.go.id serta kanal pelaporan di lapor.go.id.
Regulasi yang mengatur hal ini, Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024, memperluas definisi kekerasan mencakup fisik, psikis, seksual, perundungan, diskriminasi, hingga intoleransi.
Luka Sosial dan Kesehatan Mental Anak Muda
Peristiwa kematian Timothy terjadi di hari yang sama dengan kasus bunuh diri seorang siswa SMP di Denpasar. Dua kejadian dalam satu hari ini memperlihatkan darurat kesehatan mental di kalangan generasi muda Bali.

Data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri menunjukkan tren peningkatan kasus bunuh diri di Indonesia: 629 kasus pada 2021, naik menjadi 902 pada 2022, dan mencapai 1.288 pada 2023. Di Bali, angka bunuh diri tertinggi nasional dengan suicide rate 6,76 dan attempt rate 12,28.
Psikolog Universitas Airlangga, Atika Dian Ariani, menjelaskan generasi muda berada di fase penuh tekanan, baik secara biologis, psikologis, maupun sosial. “Faktor pertemanan sangat dominan. Ketika ada ketidakseimbangan, frustrasi bisa muncul dan mendorong tindakan ekstrem,” ujarnya.
Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, menambahkan efek perundungan sangat serius. Dalam jangka pendek korban kehilangan rasa percaya diri, sementara dalam jangka panjang dapat berujung depresi hingga bunuh diri.
Cermin Ketidakpekaan Sosial
Peneliti psikologi sosial Universitas Indonesia, Wawan Kurniawan, menilai masyarakat masih terjebak pada pandangan seragam tentang “normal”. Ketika ada yang berbeda, ia rentan dijadikan sasaran perundungan.
Menurut Wawan, kampus dan pemerintah harus memperkuat empati sosial. “Kepekaan bisa dibangun sejak dini. Anak perlu diajarkan menghargai perbedaan. Orang tua dan lembaga pendidikan berperan penting,” katanya.
Harapan untuk Perubahan

Kematian Timothy Anugerah Saputra bukan sekadar kehilangan seorang mahasiswa cerdas, tapi juga peringatan keras bagi dunia pendidikan Indonesia. Ia menjadi simbol dari kegagalan sistem yang belum mampu menciptakan ruang aman bagi generasi muda.
Kasus ini menggugah pertanyaan mendasar: sejauh mana kampus melindungi mahasiswanya dari kekerasan dan tekanan sosial?
Jika kasus ini hanya berhenti pada sanksi administratif, maka dunia pendidikan akan terus melahirkan korban berikutnya. Keadilan untuk Timothy tidak berhenti pada penyelidikan, tapi harus menjadi momentum untuk membangun kampus yang benar-benar manusiawi.















