Harian Masyarakat | Kabut tebal menyelimuti ibu kota India, New Delhi, sehari setelah jutaan orang menyalakan kembang api untuk merayakan festival Diwali. Pada Selasa pagi, kualitas udara di banyak wilayah kota merosot ke tingkat “berbahaya”. Data dari berbagai stasiun pemantauan menunjukkan indeks kualitas udara (AQI) melampaui angka 350, bahkan di beberapa titik mencapai lebih dari 1.000—angka yang dianggap ekstrem oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Asap pekat menutupi jalan, gedung tinggi, dan monumen bersejarah. Jarak pandang menurun drastis, sementara warga mulai mengeluhkan sesak napas dan iritasi mata. “Saya belum pernah melihat hal seperti ini sebelumnya. Kami tidak bisa melihat apa pun karena polusi,” kata Vedant Pachkande, seorang turis asal Maharashtra.
Diwali dan Ledakan Polusi Tahunan

Festival Diwali, yang bermakna “deretan cahaya”, dirayakan dengan menyalakan jutaan lampu dan petasan. Tahun ini, kota Ayodhya kembali mencetak rekor dunia setelah menyalakan lebih dari 2,6 juta lampu tanah liat di tepi Sungai Saryu. Namun di New Delhi, pesta cahaya itu berubah menjadi bencana asap.
Meski Pengadilan Tinggi India telah melonggarkan larangan total terhadap petasan hanya untuk “petasan hijau” yang diklaim 30–40 persen lebih ramah lingkungan, aturan itu hampir tidak ditaati. Petasan tradisional masih dijual bebas, dan suara ledakan terdengar hingga lewat tengah malam.
Petasan hijau dikembangkan oleh lembaga penelitian federal, dirancang untuk mengurangi emisi partikulat dan gas. Namun riset gabungan Delhi Technological University dan IIT Roorkee pada 2022 membuktikan bahwa bahkan petasan bersertifikat hijau tetap melepaskan partikel ultra-halus yang mampu menembus paru-paru.
Data Mengerikan di Langit Delhi
Menurut IQAir, beberapa wilayah di pusat Delhi seperti Mandir Marg dan Lodhi Road mencatat AQI di atas 1.300, sementara 36 dari 38 stasiun pemantau masuk kategori “merah”. Tingkat partikel halus PM2.5 mencapai 500–1.800 mikrogram per meter kubik, atau 120 kali lipat di atas ambang aman WHO yang hanya 15 mikrogram.
Air quality is hazardous in many areas in India, with pollution from Diwali celebrations the predominant cause. While rare, there are many areas with an AQI over 1,000.
Delhi is currently the most polluted major global city with an AQI of 1,121 and is experiencing one of its… pic.twitter.com/Gv0I5ZtkLa
— IQAir (@IQAir) October 20, 2025
Kondisi ini tidak hanya berbahaya bagi penderita penyakit paru, tetapi juga bagi seluruh populasi. Paparan udara seperti ini bisa menimbulkan batuk, sesak dada, dan peradangan saluran napas hanya dalam hitungan jam.
Studi dari Energy Policy Institute di Universitas Chicago memperkirakan polusi udara telah memangkas harapan hidup warga Delhi hingga 12 tahun dibandingkan standar WHO.
Kombinasi Mematikan: Petasan, Asap Pertanian, dan Cuaca

Polusi di Delhi bukan hanya akibat petasan. Setiap musim dingin, kombinasi cuaca dingin, angin lambat, dan topografi dataran tertutup membuat polutan sulit menyebar. Ditambah lagi, praktik membakar sisa tanaman oleh petani di negara bagian tetangga seperti Punjab dan Haryana memperburuk situasi.
Angin barat laut membawa asap dari ladang-ladang itu ke Delhi. Meski praktik ini dilarang, banyak petani tetap melakukannya karena biaya alat pengolah lahan alternatif terlalu mahal. Pemerintah pusat dan negara bagian saling menyalahkan soal subsidi yang tidak memadai untuk mengganti metode pembakaran lahan.
Namun, studi emisi menunjukkan pembakaran jerami hanya menyumbang sekitar 21 persen dari polusi total. Sisanya berasal dari kendaraan bermotor, industri, pembangkit listrik, dan debu konstruksi yang tersebar di seluruh kota.
Pemerintah Gagal Mengendalikan Situasi

Meski ada lembaga seperti Komisi Manajemen Kualitas Udara (CAQM), penerapan kebijakan di lapangan sangat lemah. Banyak rekomendasi seperti penggunaan bahan bakar bersih, kendaraan listrik, dan pelarangan pembakaran limbah padat tidak dijalankan dengan serius.
Delhi memiliki sekitar 20 juta penduduk, namun hanya 377 tim penegak hukum untuk mengawasi larangan petasan. Di sektor lain, hanya satu petugas yang mengaudit lebih dari 900 pusat uji emisi kendaraan.
Laporan ke Parlemen India pada Maret lalu menunjukkan bahwa kementerian lingkungan hidup hanya menggunakan kurang dari 1 persen dari anggaran 100 juta dolar AS yang dialokasikan untuk pengendalian polusi.
“Badan pelaksana tidak cukup bekerja, inspeksi dilakukan asal-asalan, dan tidak ada efek jera,” kata Arvind Nautiyal, mantan pejabat Komisi Kualitas Udara.
Politik yang Mengotori Udara

Masalah polusi di Delhi juga tersangkut dalam perebutan kekuasaan politik. Pemerintahan nasional yang dikuasai Partai Bharatiya Janata (BJP) dan pemerintah daerah Delhi yang dipimpin Aam Aadmi Party saling menyalahkan.
Ketika BJP berkuasa di Delhi pada 2025, mereka mendorong pelonggaran larangan petasan penuh dengan alasan menjaga tradisi keagamaan. Sementara Aam Aadmi Party menuding BJP gagal memberi dana untuk petani di Punjab agar berhenti membakar sisa tanaman.
Situasi ini memperparah kebuntuan kebijakan, membuat langkah nyata menekan polusi tertunda setiap tahun.
Dampak Meluas: Dari Energi hingga Pertanian
Polusi udara juga mengurangi jumlah sinar matahari yang diterima India. Riset di jurnal Scientific Reports menunjukkan jam paparan sinar matahari di India terus menurun akibat meningkatnya partikel aerosol dari kendaraan, industri, dan pembakaran biomassa.
Manoj K. Srivastava, ilmuwan dari Banaras Hindu University, mengatakan berkurangnya cahaya matahari dapat menurunkan produktivitas pertanian dan potensi energi surya. “Kami melihat dampak paling besar di wilayah utara India yang paling tercemar,” ujarnya.
Krisis yang Tak Kunjung Usai

Selama bertahun-tahun, berbagai upaya seperti pembatasan konstruksi, pelarangan generator diesel, dan peralihan ke gas alam terkompresi telah dijalankan. Namun dampaknya minim. Konsentrasi partikel halus di Delhi baru berkurang sekitar 7 persen dalam beberapa tahun terakhir, jauh dari target 60 persen untuk memenuhi standar udara bersih nasional.
Dengan 45 bus per 100.000 penduduk—hanya separuh dari rasio London—transportasi publik di Delhi belum mampu mengurangi ketergantungan warga pada kendaraan pribadi.
Kementerian Ilmu Bumi memperkirakan kualitas udara akan tetap berada di kategori “sangat buruk” selama beberapa hari ke depan. Seorang mantan pejabat lembaga pengendalian polusi menutup wawancara dengan pernyataan getir: “Jangan tanya kapan udara Delhi akan bersih. Bahkan para dewa pun tidak bisa menjawabnya.”















