spot_img

Utang Pemerintah Tembus Rp 9.138 Triliun: Rasio Aman, Tapi Beban Bunga Kian Berat

Harian Masyarakat | Kementerian Keuangan mencatat total utang pemerintah pusat hingga akhir Juni 2025 mencapai Rp 9.138,05 triliun. Angka ini naik Rp 325 miliar dibanding posisi akhir 2024 yang sebesar Rp 8.813 triliun.

Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, Suminto, posisi ini setara dengan 39,86 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Ia menilai rasio tersebut masih aman dan tergolong moderat dibandingkan banyak negara lain.

“Rasio utang terhadap PDB kita masih cukup rendah. Ini masih dalam batas aman sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 yang membatasi maksimal 60 persen,” kata Suminto dalam Media Gathering APBN 2026 di Bogor, Jumat, 10 Oktober 2025.

Dibandingkan negara tetangga, posisi Indonesia memang relatif rendah. Malaysia mencatat rasio 61,9 persen, Filipina 62 persen, Thailand 62,8 persen, dan India bahkan mencapai 84,3 persen.

Komposisi Utang Pemerintah: SBN Masih Mendominasi

uang utang pemerintah Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, Suminto
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, Suminto

Dari total Rp 9.138 triliun tersebut, komponen terbesar berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 7.980,87 triliun atau sekitar 87 persen dari total utang pemerintah.

  • SBN berdenominasi rupiah mencapai Rp 6.484,12 triliun.
  • SBN berdenominasi valuta asing (valas) sebesar Rp 1.496,75 triliun.

Sementara itu, pinjaman pemerintah tercatat Rp 1.157,18 triliun, yang terdiri dari:

  • Pinjaman luar negeri: Rp 1.108,17 triliun.
  • Pinjaman dalam negeri: Rp 49,01 triliun.

Posisi pinjaman naik tipis dibanding bulan sebelumnya, Mei 2025, yang senilai Rp 1.147,95 triliun. Namun, total utang justru turun sedikit karena penurunan penerbitan SBN dari Rp 8.029,53 triliun menjadi Rp 7.980,87 triliun.

Data Utang Kini Dirilis per Kuartal

Suminto mengumumkan bahwa Kemenkeu mulai tidak lagi merilis data utang secara bulanan, melainkan setiap kuartal. Alasannya, agar data utang lebih kredibel dan sesuai dengan realisasi PDB yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tiga bulan.

“Kalau rilisnya bulanan, kami harus pakai asumsi PDB. Sekarang kami pakai realisasi agar hasilnya akurat dan tidak bias,” jelas Suminto.

Langkah ini dianggap perlu karena statistik bulanan sering menimbulkan ketidaksesuaian antara data utang dan perkembangan ekonomi riil.

Beban Bunga Utang Kian Berat

Meski pemerintah menegaskan posisi utang pemerintah masih aman, beban bunga utang terus meningkat dan menjadi perhatian para ekonom.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan pajak kini mencapai 26 persen. Artinya, lebih dari seperempat penerimaan pajak digunakan hanya untuk membayar bunga utang.

“Pada 2010, rasio ini hanya 12 persen. Kini sudah 26 persen. Ini menunjukkan ruang fiskal makin sempit,” ujar Bhima.

uang utang pemerintah Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira

Kemenkeu memperkirakan penerimaan pajak 2025 sebesar Rp 2.076,9 triliun, sedangkan pembayaran bunga utang mencapai Rp 552,8 triliun. Pada 2026, beban bunga bahkan diproyeksikan naik 8,6 persen menjadi Rp 599,4 triliun.

Bhima menilai kenaikan beban bunga ini disebabkan oleh tingginya imbal hasil obligasi (yield), terutama pada SBN tenor 10 tahun yang mencapai 6,9 persen. Angka ini lebih tinggi dibanding negara dengan rasio utang serupa seperti Filipina. “Investor memang tertarik dengan imbal hasil tinggi, tapi konsekuensinya beban APBN makin berat,” katanya.

Efektivitas Utang Masih Dipertanyakan

Bhima juga menilai penambahan utang pemerintah belum berdampak signifikan terhadap efisiensi ekonomi. Rasio modal terhadap output tambahan (Incremental Capital Output Ratio/ICOR) masih tinggi, menandakan produktivitas dari pembiayaan utang belum optimal.

Ia menyarankan pemerintah menunda proyek yang belum mendesak, seperti program makan bergizi gratis atau pengadaan alutsista, untuk menghindari penambahan utang berlebih.

Sementara itu, Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti rasio Debt Service Ratio (DSR) Indonesia yang pada 2024 sudah mencapai 45 persen, jauh di atas rekomendasi IMF sebesar 25–35 persen.

“Sulit menurunkannya pada 2025 karena target pendapatan negara kemungkinan tidak tercapai,” ujarnya.

Awalil juga mengingatkan bahwa pembayaran bunga utang kini menjadi pos terbesar dalam belanja negara, bahkan melampaui belanja pegawai selama dua tahun terakhir.

uang utang pemerintah Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky

Tantangan Fiskal di Tengah Rasio Aman

Secara rasio, utang pemerintah memang masih aman. Namun secara struktur anggaran, tekanan semakin besar akibat beban bunga yang tumbuh lebih cepat dari penerimaan pajak.

Pemerintah berupaya menjaga kredibilitas fiskal melalui penerbitan utang yang terukur dan selektif, serta menyesuaikan frekuensi laporan dengan data ekonomi aktual. Namun tanpa perbaikan penerimaan pajak dan peningkatan produktivitas dari proyek yang dibiayai utang, risiko tekanan fiskal akan terus meningkat.

Posisi utang pemerintah Indonesia pada pertengahan 2025 memang masih dalam batas aman, dengan rasio di bawah 40 persen terhadap PDB. Namun, beban bunga dan kualitas penggunaan utang menjadi pekerjaan rumah serius bagi pemerintah.

Utang pemerintah yang sehat bukan hanya yang rasionya rendah, tapi juga yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperkuat kapasitas fiskal negara. Tanpa itu, rasio aman bisa menipu, sementara beban keuangan negara terus membengkak.

Trending Topic

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related news