Harian Masyarakat | Ribuan warga Thailand menggelar aksi unjuk rasa di Monumen Kemenangan, Bangkok, Sabtu (2/8), menuntut Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra mundur dari jabatannya. Aksi ini dipicu oleh konflik di perbatasan dengan Kamboja yang menewaskan lebih dari 36 orang dan menyebabkan lebih dari 260.000 warga mengungsi, serta bocornya rekaman percakapan pribadi Paetongtarn dengan mantan PM Kamboja, Hun Sen.

Tiga Tuntutan Utama Demonstran
Aksi protes yang dihadiri sekitar 2.000 orang ini didominasi kelompok konservatif pro-militer, termasuk pendukung United Front to Defend Thai Sovereignty dan mantan aktivis “Kaus Kuning”, kelompok yang dikenal sebagai oposisi lama terhadap keluarga Shinawatra. Mereka menyuarakan tiga tuntutan utama:
- PM Paetongtarn harus mundur tanpa menunggu putusan Mahkamah Konstitusi.
- Partai-partai koalisi harus menarik dukungan dari pemerintahan Partai Pheu Thai.
- Seluruh pihak harus bersikap tegas dalam mempertahankan kedaulatan nasional.
“Ung Ing (nama panggilan Paetongtarn), kau harus pergi. Tanganmu berlumuran darah,” teriak Jittakorn Bussaba, kolumnis konservatif dari atas panggung, yang langsung disambut tepuk tangan meriah.
Konflik Berdarah di Perbatasan Thailand-Kamboja
Konflik yang sudah berlangsung selama puluhan tahun kembali memanas dalam beberapa pekan terakhir. Bentrokan militer terbaru berakhir dengan gencatan senjata yang ditengahi oleh Malaysia pada 29 Juli 2025. Namun, banyak pihak di Thailand menilai gencatan senjata tersebut tidak memberikan keadilan, terutama karena tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran ranjau oleh pasukan Kamboja.
Pichit Chaimongkol, tokoh demonstran, menyebut bahwa bocoran percakapan antara Paetongtarn dan Hun Sen menjadi pemicu utama meletusnya konflik. Dalam rekaman yang bocor bulan Juni lalu, Paetongtarn terdengar memanggil Hun Sen dengan sebutan “paman” dan merendahkan seorang jenderal militer Thailand, yang kemudian menimbulkan kemarahan publik dan merusak moral pasukan di garis depan.
Tudingan Kolusi dan Pengkhianatan Nasional
Banyak demonstran menuding Paetongtarn dan keluarganya memiliki hubungan terlalu dekat dengan elit Kamboja, khususnya Hun Sen, yang meski sudah tidak menjabat tetap memiliki pengaruh besar. Keluarga Shinawatra dituduh membiarkan konflik berkembang karena kedekatan politik dengan pihak lawan.
“Thaksin dan keluarganya tidak boleh lagi memimpin negara ini,” kata Ammorn Khunthong, warga berusia 58 tahun. “Mereka sudah terlalu banyak merusak.”
Thaksin Shinawatra, ayah Paetongtarn, adalah mantan PM yang digulingkan lewat kudeta militer pada 2006. Kakaknya, Yingluck Shinawatra, juga ditumbangkan oleh militer dalam kudeta 2014. Keduanya dikenal sebagai tokoh populis yang sering dituduh mencampurkan bisnis pribadi dengan kekuasaan negara.
Respons Pemerintah dan Agenda GBC
Saat ini, Mahkamah Konstitusi tengah memproses petisi pemberhentian resmi Paetongtarn atas dasar pelanggaran etika. Sementara itu, pelaksana tugas PM Phumtham Wechayachai menjadi sorotan karena dianggap terlalu lunak dalam negosiasi gencatan senjata dengan Kamboja.
Rapat Komite Perbatasan Umum (General Border Committee/GBC) dijadwalkan dimulai Senin, 5 Agustus, di Kuala Lumpur. Awalnya, Thailand menolak kehadiran pengamat internasional. Namun, surat dari Wakil Menteri Pertahanan Gen Nattaphon Narkphanit mengonfirmasi bahwa perwakilan dari ASEAN, Tiongkok, dan Amerika Serikat akan diizinkan hadir pada hari terakhir pertemuan, 7 Agustus 2025.
Dukungan Rakyat untuk Militer
Selain menyerukan pengunduran diri Paetongtarn, aksi massa juga menunjukkan dukungan luas terhadap tentara Thailand. Para peserta membawa bendera nasional dan menyampaikan orasi dalam bahasa Thailand dan Khmer. Mereka juga membuka posko donasi bertajuk “Ibu Kota Peduli Perbatasan” untuk mengumpulkan bantuan bagi tentara dan warga sipil yang mengungsi.
“Ini bukan sekadar soal politik,” ujar Kittiwat (75). “Ini soal mempertahankan harga diri bangsa dan melindungi prajurit kita.”