Harian Masyarakat | Mahkamah Konstitusi (MK) resmi membatalkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Putusan ini dibacakan pada Senin, 29 September 2025, setelah MK mengabulkan seluruh gugatan serikat buruh dan pekerja yang menilai Tapera memberatkan.
MK menyatakan Tapera bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1), karena mengubah konsep tabungan sukarela menjadi pungutan wajib yang bersifat memaksa.
Amar Putusan MK
Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan perkara nomor 96/PUU-XXII/2024:
- Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya.
- Menyatakan UU No 4 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
- UU Tapera tetap berlaku maksimal 2 tahun untuk menghindari kekosongan hukum, sambil menunggu DPR dan pemerintah menata ulang regulasi sesuai amanat UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
MK juga memerintahkan putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Alasan MK Membatalkan Tapera
1. Tabungan Tidak Boleh Dipaksakan
Hakim Konstitusi Saldi Isra menegaskan, konsep tabungan harus bersifat sukarela. Tabungan Perumahan Rakyat justru mengubahnya menjadi kewajiban dengan sanksi administratif, termasuk pembekuan hingga pencabutan izin usaha bagi pemberi kerja.
“Tapera telah menggeser makna konsep tabungan yang sejatinya bersifat sukarela menjadi pungutan yang bersifat memaksa,” kata Saldi Isra.
2. Negara Menjadi Pemungut, Bukan Penjamin
MK menilai Pasal 7 ayat (1) Tapera yang mewajibkan pekerja berpenghasilan minimal upah minimum menjadi peserta, telah menggeser peran negara. Seharusnya negara menjamin hunian layak, bukan membebankan pekerja.
“Norma demikian menggeser peran negara sebagai penjamin menjadi pemungut iuran. Hal ini tidak sejalan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945,” ujar hakim.
3. Beban Berat bagi Pekerja dan Pemberi Kerja
Iuran Tapera ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji (2,5 persen ditanggung pekerja, 0,5 persen pemberi kerja). Buruh pabrik di Sumedang, Rahmat Saputra, memberi kesaksian bahwa iuran ini akan semakin menggerus gajinya yang sudah dipotong untuk BPJS, pajak, koperasi, dan cicilan rumah.
Dengan gaji Rp5,6 juta, iuran Tapera sekitar Rp140 ribu per bulan. Rahmat mengaku penghasilannya sudah habis untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan sering “lebih besar pasak daripada tiang”.
Hakim juga menilai kewajiban iuran menambah penderitaan pekerja yang terkena PHK dan pemberi kerja yang usahanya bangkrut atau dicabut izinnya.
4. Tapera Tidak Capai Tujuan
Menurut Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Tapera hanya mengembalikan simpanan di akhir masa kerja atau pensiun, tanpa menjamin akses langsung pada rumah layak. Skema ini tidak efektif menyelesaikan masalah perumahan rakyat.
“Pembentuk undang-undang harus menata ulang desain pemenuhan hak atas rumah dengan mengembangkan konsep hunian publik yang masif, terjangkau, dan berkelanjutan,” kata Enny.
Pasal Jantung yang Inkonstitusional
Pasal 7 ayat (1) Tapera menjadi pusat persoalan. MK menyebutnya sebagai “pasal jantung” yang menopang seluruh sistem Tabungan Perumahan Rakyat. Karena pasal itu dinyatakan inkonstitusional, maka otomatis seluruh UU Tapera gugur.
MK menolak usulan agar kata “wajib” diubah menjadi “dapat”. Perubahan ini dianggap merusak logika hukum Tapera, membuat sanksi dan mekanisme kelembagaan tidak berjalan.
Respon DPR
Anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDIP, Irine Yusiana Roba Putri, menyambut baik putusan MK. Menurutnya, tabungan memang harus bersifat sukarela.
“Ini peluang bagi pemerintah dan DPR untuk merumuskan kebijakan perumahan yang adil bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR),” kata Irine.
Ia menekankan perlunya komitmen negara dalam menyediakan skema pembiayaan perumahan dengan dukungan anggaran yang memadai, mencontoh berbagai model di negara lain. Komisi V DPR berencana membahas model baru bersama Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Gugatan Serikat Buruh dan Pekerja
Putusan MK ini merupakan hasil dari tiga perkara uji materi yang digabungkan. Pemohon terdiri dari 12 serikat pekerja, antara lain Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), serta pekerja swasta dan pengusaha mandiri.
Mereka menilai Tapera tumpang tindih dengan program jaminan sosial lain seperti BPJS Ketenagakerjaan, serta membebani pekerja berpenghasilan rendah.
Tugas Pemerintah dan DPR Selanjutnya
MK memberi waktu dua tahun bagi pemerintah dan DPR untuk merumuskan ulang aturan pendanaan dan pembiayaan perumahan. Arah baru yang disarankan adalah:
- Menghapus sifat wajib Tapera dan menjadikannya sukarela.
- Menyusun skema pembiayaan yang adil dan tidak membebani pekerja maupun pemberi kerja.
- Mengutamakan MBR dalam penyediaan rumah.
- Mengembangkan model hunian publik terjangkau dengan dukungan anggaran negara.
Putusan MK ini menjadi tonggak penting dalam kebijakan perumahan di Indonesia. Negara ditegaskan kembali sebagai penjamin hak atas hunian layak, bukan pemungut iuran.
Pemerintah dan DPR kini menghadapi pekerjaan besar: merancang ulang sistem pembiayaan perumahan yang adil, sukarela, dan berpihak pada rakyat berpenghasilan rendah.