Harian Masyarakat | Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) kini jadi isu nasional. Program ini mewajibkan pemotongan gaji pekerja sebesar 2,5 persen setiap bulan, ditambah 0,5 persen dari pemberi kerja. Untuk pekerja mandiri, potongan penuh 3 persen.
Tiga pihak menggugat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 ke Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk dua kelompok buruh dan satu pekerja individu. Objek gugatannya adalah Pasal 7 ayat 1 yang menyebut setiap pekerja dengan penghasilan minimal setara upah minimum wajib menjadi peserta Tabungan Perumahan Rakyat.
Putusan uji materi ini dijadwalkan dibacakan MK pada Senin, 29 September 2025 siang. Hasilnya akan menentukan apakah kewajiban ikut Tapera akan tetap berlaku atau dibatalkan.
Kisah Para Pekerja
Rahmat Saputra, karyawan industri kimia dengan gaji Rp5,63 juta, sudah dipotong lebih dari Rp1,4 juta tiap bulan untuk BPJS, pajak, dan koperasi. Setelah ditambah cicilan rumah, sisa gajinya hanya Rp2,48 juta. “Tapera akan menambah beban bagi kami,” kata Rahmat saat persidangan.
Keluhan serupa datang dari Leonardo Olefins, fresh graduate yang baru bekerja. Ia merasa pemotongan Tapera akan menggerus gaji yang sebagian dipakai untuk biaya sekolah adiknya. “Tapera ini cuma jadi beban finansial,” ujarnya.
Ada juga Ricky Donny, penjual es teh dengan omzet Rp1,5 juta-Rp2 juta per bulan. Ia takut gerobaknya disita jika tidak sanggup membayar iuran 3 persen. “Saya merasa kayak dipaksa, enggak ada alternatif,” katanya.
Dalil Para Penggugat
Kuasa hukum serikat pekerja, Muhammad Raziv Barokah, menilai Tapera adalah bentuk pemaksaan tabungan. Menurutnya, konsep tabungan seharusnya sukarela. Ia menyinggung kegagalan program serupa di Tiongkok serta kasus korupsi di Jiwasraya, Asabri, dan Taspen.
Raziv menyebut kewajiban iuran pekerja saat ini sudah mencapai 8,7 persen dari gaji. Jika ditambah Tapera, total potongan bisa tembus 11,7 persen. “Ini mengurangi kemampuan pekerja untuk hidup layak,” tegasnya.
Ia juga memperingatkan agar negara tidak dilihat seperti “perampok” karena mengambil uang rakyat tanpa persetujuan. “Taxation without representation is robbery,” ujarnya di persidangan.
Sikap DPR dan Pemerintah
DPR menolak anggapan bahwa Tapera membebani rakyat. Menurut Abdullah, anggota Komisi III, program ini adalah wujud kehadiran negara dalam membantu rakyat memiliki rumah layak, sesuai amanat UUD 1945.
Pemerintah menegaskan Tapera adalah tabungan, bukan beban. Peserta mendapat bunga pembiayaan rumah rendah dan tetap, serta pengembalian tabungan beserta hasil investasinya. BP Tapera diwajibkan melaporkan keuangan setiap tahun dan diaudit akuntan publik.
Analisis Ahli
- Surya Tjandra (Atma Jaya): menilai Tapera lebih seperti sarana menghimpun uang, bukan solusi nyata perumahan. Menurutnya, jika wajib maka sebaiknya dikelola dalam kerangka Sistem Jaminan Sosial Nasional.
- Yusuf Wibisono (IDEAS): menyebut Tapera memberatkan pekerja yang sudah terbebani potongan. Ditambah lagi mayoritas masyarakat (82 persen) sudah punya rumah. Hanya 18 persen yang belum.
- Anton Sitorus (pengamat properti): menegaskan penyediaan rumah seharusnya tanggung jawab negara, bukan urunan rakyat.
- Jehansyah Siregar (ITB): menghitung bahwa potongan Tapera selama 20 tahun hanya terkumpul sekitar Rp43 juta, jauh dari harga rumah subsidi Rp185 juta. Ia menilai program ini tidak logis.
Skema Tapera Versi Pemerintah
BP Tabungan Perumahan Rakyat menyebut peserta akan menikmati fasilitas pembiayaan rumah bersubsidi:
- Uang muka 1 persen.
- Bunga flat 5 persen hingga 30 tahun.
- Harga rumah subsidi Rp166 juta–Rp240 juta tergantung zona.
Peserta yang sudah punya rumah disebut sebagai “penabung mulia” dan hanya mendapat kembali tabungan plus imbal hasil saat keluar dari program.
Sejak 2021, BP Tabungan Perumahan Rakyat mengklaim telah menyalurkan 18.579 unit rumah senilai Rp2,62 triliun untuk PNS berpenghasilan rendah.
Tantangan Penyediaan Rumah
Harga tanah di kota besar menjadi hambatan utama. Di Jakarta, harga rata-rata mencapai Rp15,6 juta per meter persegi. Di Jabodetabek sekitar Rp12,4 juta per meter persegi. Angka ini terus naik sekitar 16 persen per tahun.
Selain itu, perizinan perumahan disebut rumit dengan 29 syarat yang memakan biaya besar. Hal ini membuat harga rumah rakyat sulit ditekan.
Menanti Putusan MK
Kontroversi Tabungan Perumahan Rakyat mempertajam perdebatan antara beban finansial pekerja dan janji negara menyediakan rumah layak. Gugatan para buruh dan pekerja menyoroti aspek pemaksaan, tumpang tindih aturan, hingga ketidakpastian manfaat.
Pada Senin, 29 September 2025 siang, MK akan membacakan putusan. Keputusan ini akan menentukan apakah Tapera tetap berjalan sebagai kewajiban nasional atau dihentikan karena dianggap melanggar konstitusi.
Pertanyaannya, apakah Tapera akan dicatat sebagai solusi nyata backlog perumahan, atau justru menambah daftar panjang kebijakan yang gagal?